Laman

Welcome to My Blog | RistaLikestar.blogspot.com | it's fun blog | Sharing | thank's for your visit |

Senin, 21 Maret 2016

KONSEP DASAR PENYAKIT DIMENSIA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
      Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Demensia bukanlah suatu penyakit yang spesifik. Demensia merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kumpulan gejala yang bisa disebabkan oleh berbagai kelainan yang mempengaruhi otak. Seorang penderita demensia memiliki fungsi intelektual yang terganggu dan menyebabkan gangguan dalam aktivitas sehari-hari maupun hubungan dengan orang sekitarnya.
      Proses penuaan tidak dapat dihambat, baik penuaan otak maupun fisik. Otak akan atropi, sel pyramidal neuron di neokortek dan hipokampus akan mengkerut, pengurangan dendrit dan sinaps. Seiring dengan itu maka gerakan dan reaksi akan melambat, akan tetapi kaum tua masih dapat lari ataupun bermain tenis secukupnya. Ingatan akan kata berkurang tetapi memori, semantik, pengetahuan, dan vocabulary tidaklah akan menurun (Sjahrir,1999)
      Penyakit mental pada orang tua sangat bervariasi, maka terjadilah masalah besar, seperti masalah social dan ekonomi maupun medis yang muncul akibat demensia senilis dan demensia multi infark.penyakit ini sering terjadi bahkan meningkat karena populasi orang tua bertambah dan tidak tersedianya tindakan pencegahan atau pengobatan. Banyak orang tua yang menderita demensia juga menderita penyakit fisik penyerta lain.
Lanjut usia atau lansia identik dengan demensia atau pikun dan perlu diketahui bahwa pikun bukanlah hal yang normal pada proses penuaan. Lansia dapat hidup normal tanpa mengalami berbagai gangguan memori dan perubahan tingkah laku seperti yang dialami oleh lansia dengan demensia. Sebagian besar orang mengira orang bahwa demensia adalah penyakit yang hanya diderita oleh para lansia, kenyataannya demensia dapat diderita oleh siapa saja dari semua tingkat usia dan jenis kelamin (Harvey, R.J.et al.2003).
      Hal ini akan menitikberatkan pada demensia yang diderita oleh lansia dan perawatan yang dapat dilakukan keluarga sebagai support system yang penting untuk penderita demensia. Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis melakukan pendekatan asuhan keperawatan terhadap pasien dengan demensia.



B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat penulis rumuskan suatu permasalahan :
1.      Apa definisi dari demensia?
2.      Bagaimana epidemiologi dari demensia?
3.      Bagaimana etiologi dari demensia?
4.      Bagaimana patofisiologi dari demensia?
5.      Apa saja klasifikasi dari demensia?
6.      Bagaimana gejala klinis dari demensia?
7.      Apa pemeriksaan penunjang dari demensia?
8.      Bagaimana prognosis dari demensia?
9.      Bagaimana penatalaksanaan dari demensia?

1.      Mengetahui definisi dari demensia.
2.      Mengetahui epidemiologi dari demensia.
3.      Mengetahui etiologi dari demensia.
4.      Menjelaskan patofisiologi dari demensia.
5.      Mengetahui klasifikasi dari demensia.
6.      Mengetahui gejala klinis dari demensia.
7.      Mengetahui pemeriksaan penunjang dari demensia.
8.      Mengetahui prognosis dari demensia.
9.      Menjelaskan penatalaksanaan dari demensia.





BAB II
PEMBAHASAN


A.    Konsep Dasar Penyakit
1.      Pengertian
a.      Demensia, atau kehilangan kognitif, dapat menyerupai berbagai bentuk. Penyakit Alzheimer adalah salah satu bentuknya, meskipun penyakit ini tidak digolongkan sebagai gangguan psikiatrik berdasarkan Alzheimer’s Association. (Jaime L. Stockslager, 2008)
b.      Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran .(Wasilah Rochmah, 2009)
c.       Demensia adalah gangguan fungsi intelektual tanpa gangguan fungsi vegetatif atau keadaan terjaga. Memori, pengetahuan umum, pikiran abstrak, penilaian, dan interpretasi atas komunikasi tertulis dan lisan dapat terganggu. (Elizabeth J. Corwin, 2009).

B.     Epidemiologi dan Sejarah
Pada jaman Romawi dari kata Latin sebenarnya, kata demens tidak memiliki arti konotasi yang spesifik. Yang pertama kali menggunakan kata demensia adalah seorang enclyopedist yang bernama Celcus di dalam publikasinya De re medicine sekitar AD 30 yang mengartikan demens sebagai istilah gila. Seabad kemudian seorang tabib dari Cappodocian yang bernama Areteus menggunakan istilah senile dementia pada seorang pasien tua yang berkelakuan seperti anak kecil. Kemudian pada awal abad ke 19 seorang psikiater Prancis yang bernama Pinel menghubungkan terminologi demensia dengan perubahan mental yang progresif pada pasien yang mirip idiot (Sjahrir,1999)
Sampai abad ke 19 istilah demensia dianggap sebagai masa terminal dari penyakit kejiwaan yang membawa kematian. Baru pada awal abad ke 20, yaitu tahun 1907 Alzheimer mempublikasikan suatu kasus yang berjudul “A Unique Illnes involving cerebral cortex” pada pasien wanita umur 55 tahun. Kemudian kasus itu ditabalkan sebagai penyakit Alzheimer. Pasien ini masih relatif muda dan secara progresif bertahap mengalami gejala seperti psikosis dan demensia kemudian meninggal 4-5 tahun setelah onset serangan pertama. Pada otopsi ditemukan 1/3 dari bagian neuron kortek menghilang dari neuron yang tinggal menggembung berisi gumpalan fiber dalam sitoplasmanya. Alzheimer menduga adanya perubahan kimiawi di dalam neurofibril. Alzheimer lah yang pertama kali menemukan dan menamakan neurofibrillary tangles (NT) dimana NT bersamaan dengan senile plaque (SP) dianggap sebagai penanda diagnostik Alzheimer Disease. (Sjahrir,1999)
Proses penuaan tidak dapat dihambat, baik penuaan otak maupun fisik. Otak akan atropi, sel pyramidal neuron di neokortek dan hipokampus akan mengkerut, pengurangan dendrit dan sinaps. Seiring dengan itu maka gerakan dan reaksi akan melambat, akan tetapi kaum tua masih dapat lari ataupun bermain tenis secukupnya. Ingatan akan kata berkurang tetapi memori, semantik, pengetahuan, dan vocabulary tidaklah akan menurun (Sjahrir,1999)
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas 65 tahun dengan angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada perbedaan antara pria dan wanita sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih banyak wanita dengan rasio 1,6. Insiden demensia Alzheimer sangatlah berkaitan dengan umur, 5% dari populasi berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin banyak populasi orang tua di Amerika Serikat dan Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak kasus AD, dimana pada populasi umur 80 tahun didapati 50% penderita AD. (Sjahrir,1999)
Laporan Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut diatas 60 tahun adalah 7,2 % (populasi usia lanjut kurang lebih 15 juta). Peningkatan angka kejadian kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi. Kira-kira 5 % usia lanjut 65 – 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun. Pada negara industri kasus demensia 0.5 –1.0 % dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10 – 15% atau sekitar 3 – 4 juta orang. Demensia terbagi menjadi dua yakni Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler. Demensia Alzheimer merupakan kasus demensia terbanyak di negara maju Amerika dan Eropa sekitar 50-70%. Demensia vaskuler penyebab kedua sekitar 15-20% sisanya 15- 35% disebabkan demensia lainnya. Di Jepang dan Cina demensia vaskuler 50 – 60 % dan 30 – 40 % demensia akibat penyakit Alzheimer.

C.    Etiologi
      Penyebab demensia menurut Nugroho (2008) dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar :
1.         Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal, Sering pada golongan ini tidak ditemukan atrofia serebri, mungkin kelainan terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi pada sistem enzim, atau pada metabolisme seperti yang ditemukan pada penyakit alzheimer dan demensia senilis.
2.         Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat diobati,
Penyebab utama dalam golongan ini diantaranya :
·         Penyakit degenerasi spino-serebelar.
·         Subakut leuko-ensefalitis sklerotik van Bogaert
·         Khorea Huntington
·         penyakit jacob-creutzfeld dll
3.         Sindoma demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati, dalam golongan ini diantaranya :
·         Penyakit cerebro kardiofaskuler
·         penyakit- penyakit metabolik
·         Gangguan nutrisi
·         Akibat intoksikasi menahun
·         Hidrosefalus komunikans
.
      Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai   pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian. Usia awitan dan kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori diagnostik masing-masing individu. Usia harapan hidup pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau dengan riwayat keluarga menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih cepat.  Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien dengan demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang diberikan telah dimulai sebelum kerusakan otak yang permanen terjadi.
      Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme. Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan membawa pasien untuk pergi berobat. Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik. Pada stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi ibarat “cangkang kosong” dalam diri mereka sendiri, pasien mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik, dan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
      Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada demensia yang reversibel (misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan tumor otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada demensia yang terkait dengan trauma kepala).
      Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh faktor psikososial. Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan pasien sebelum sakit maka semakin tinggi juga kemampuan untuk mengkompensasi deficit intelektual. Pasien dengan awitan demensia yang cepat (rapid onset) menggunakan pertahanan diri yang lebih sedikit daripada pasien yang mengalami awitan yang bertahap. Kecemasan dan depresi dapat memperkuat dan memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi pada individu yang mengalami depresi dan mengeluhkan gangguan memori, akan tetapi pada kenyataannya ia mengalami gangguan depresi. Ketika depresinya berhasil ditanggulangi, maka defek kognitifnya akan menghilang.
(Pathway terlampir)

Demensia dapat dibagi dalam 3 tipe yaitu :
a.      Demensia Kortikal dan Sub Kortikal
1)      Demensia Kortikal
Merupakan demensia yang muncul dari kelainan yang terjadi pada korteks serebri substansia grisea yang berperan penting terhadap proses kognitif seperti daya ingat dan bahasa. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan demensia kortikal adalah Penyakit Alzheimer, Penyakit Vaskular, Penyakit Lewy Bodies, sindroma Korsakoff, ensefalopati Wernicke, Penyakit Pick, Penyakit Creutzfelt-Jakob.

2)      Demensia Subkortikal
Merupakan demensia yang termasuk non-Alzheimer, muncul dari kelainan yang terjadi pada korteks serebri substansia alba. Biasanya tidak didapatkan gangguan daya ingat dan bahasa. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan demensia kortikal adalah penyakit Huntington, hipotiroid, Parkinson, kekurangan vitamin B1, B12, Folate,
sifilis, hematoma subdural, hiperkalsemia, hipoglikemia, penyakit Coeliac, AIDS, gagal hepar, ginjal, nafas, dll.

b.      Demensia Reversibel dan Non reversible
1)      Demensia Reversibel
Merupakan demensia dengan faktor penyebab yang dapat diobati. Yang termasuk faktor penyebab yang dapat bersifat reversibel adalah keadaan/penyakit yang muncul dari proses inflamasi (ensefalopati SLE, sifilis), atau dari proses keracunan (intoksikasi alkohol, bahan kimia lainnya), gangguan metabolik dan nutrisi (hipo atau hipertiroid, defisiensi vitamin B1, B12, dll)
2)      Demensia Non Reversibel
Merupakan demensia dengan faktor penyebab yang tidak dapat diobati dan bersifat kronik progresif. Beberapa penyakit dasar yang dapat menimbulkan demensia ini adalah penyakit Alzheimer, Parkinson, Huntington, Pick, Creutzfelt-Jakob, serta vaskular.
c.       DemensiaPre Senilis dan Senilis
1.      Demensia Pre Senilis merupakan demensia yang dapat terjadi pada golongan umur lebih muda (onset dini) yaitu umur 40-50 tahun dan dapat disebabkan oleh berbagai kondisi medis yang dapat mempengaruhi fungsi jaringan otak (penyakit degeneratif pada sistem saraf pusat, penyebab intra kranial, penyebab vaskular, gangguan metabolik dan endokrin, gangguan nutrisi, penyebab trauma, infeksi dan kondisi lain yang berhubungan, penyebab toksik (keracunan), anoksia).
2.      Demensia Senilis merupakan demensia yang muncul setelah umur 65 tahun. Biasanya terjadi akibat perubahan dan degenerasi jaringan otak yang diikuti dengan adanya gambaran deteriorasi mental.

F.     Tanda dan Gejala
Secara umum tanda dan gejala demensia adalah sbb:
1)      Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, “lupa” menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
2)      Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan, tahun, tempat penderita demensia berada
3)      Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar, menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali
4)      Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensia kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.
5)      Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan gelisa
6)      Seluruh jajaran fungsi kognitif rusak.
7)      Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek.
8)      Gangguan kepribadian dan perilaku, mood swings
9)      Defisit neurologik motor & fokal
10)  Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan kejang
11)  Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waham & paranoia
12)  Agnosia, apraxia, afasia
13)  ADL (Activities of Daily Living)susah
14)  Kesulitan mengatur penggunaan keuangan
15)  Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian
16)  Lupa meletakkan barang penting
17)  Sulit mandi, makan, berpakaian, toileting
18)  Pasien bisa berjalan jauh dari rumah dan tak bisa pulang
19)  Mudah terjatuh, keseimbangan buruk
20)  Akhirnya lumpuh, inkontinensia urine & alvi
21)  Tak dapat makan dan menelan
22)  Koma dan kematian.

1.      Pemeriksaan laboratorium rutin
            Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat.
a.       Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan.
b.      Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.
c.       Pemeriksaan cairan otak
Fungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut, penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.
d.      Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat.
Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya. .(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan neuropsikologi sangat berguna terutama pada kasus yang sangat ringan untuk membedakan proses ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut:
1)      Mampu menyaring secara cepat suatu populasi
2)      Mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan demensia. (Sjahrir,1999)
      Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE) adalah test yang paling banyak dipakai. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003 ;Boustani,2003 ;Houx,2002 ;Kliegel dkk,2004) tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan memori ringan. (Tang-Wei,2003)
      Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi.(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
      Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pada penelitian Crum R.M 1993 didapatkan median skor MMSE adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25 untuk yang > 80 tahun, dan median skor 29 untuk yang lama pendidikannya >9 tahun, 26 untuk yang berpendidikan 5-8 tahun dan 22 untuk yang berpendidikan 0-4 tahun. Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu pemeriksaan umum pada demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu metode yang dapat menilai derajat demensia ke dalam beberapa tingkatan. (Burns,2002). Penilaian fungsi kognitif pada CDR berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan ini adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5, untuk Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat demensia yang berat. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003, Golomb,2001)

Dari pemeriksaan klinis 42 penderita probable alzheimer menunjukkan bahwa nilai prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu:
a.       Derajat beratnya penyakit
b.      Variabilitas gambaran klinis
c.       Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling mempengaruhi prognostik penderita alzheimer.Pasien dengan penyakit Alzheimer mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi sekunder.
I.       Penatalaksanaan
1.      Terapi Psikososial
            Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self) menghilang.
            Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya.Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara “berdamai” dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat.
            Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.

2.      Farmakoterapi
            Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi).
            Secara umum, obat-obatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan. Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik.
            Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif.
Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa:
·      Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
·      Antipsikotika atipik:
§  Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
§  Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
§  Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
§  Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
§  Abilify 1 x 10 - 15 mg
·      Anxiolitika
§  Clobazam 1 x 10 mg
§  Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
§  Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
§  Buspirone HCI 10 - 30 mg
§  Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
§  Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
·      Antidepresiva
§  Amitriptyline 25 - 50 mg
§  Tofranil 25 - 30 mg
§  Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
§  SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
§  Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
·      Mood stabilizers
§  Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
§  Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
§  Topamate 1 x 50 mg
§  Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
§  Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
§  Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
§  Priadel 2 - 3 x 400 mg
     Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia):
·      Nootropika:
§  Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
§  Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
§  Sabeluzole (Reminyl)
·      Ca-antagonist:
§  Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
§  Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
§  Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
§  Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse
§  Pantoyl-GABA
·      Acetylcholinesterase inhibitors
§  Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
§  Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari
§  Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
§  Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
§  Memantine 2 x 5 - 10 mg





















      Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai gangguan kesadaran. Tanda dan gejalanya yakni seluruh jajaran fungsi kognitif rusak, awalnya gangguan daya ingat jangka pendek, gangguan kepribadian dan perilaku, mood swings, defisit neurologik motor & fokal, mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan kejang, gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waham & paranoia, agnosia, apraxia, afasia, kesulitan mengatur penggunaan keuangan, tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian.

      Kita sebagai seorang perawat perlu mengetahui tentang penyakit dimensia selain untuk menambah wawasan pengetahuan kita sebagai seorang perawat, juga untuk berbagi kepada masyarakat tentang informasi tentang penyakit dimensia. Dalam merawat pasien dimensia pada lansia seorang perawat juga harus memperhatikan keselamatan diri sendiri dan tidak lupa memperhatikan keselamatan pasien. Makalah ini masih jauh dari sempurna, diharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.












Isaacs, Ann.2004.Keperawatan Kesehatan Jiwa Dan Psikiatrik.Jakarta:EGC

Kushariyadi.2010. Askep pada Klien Lanjut Usia. Salemba medika; Jakarta

Lumbantobing, SM. 2006. Kecerdasan pada Usia Lanjut dan Demensia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik Edisi 2 Buku Kedokteran. EGC : Jakarta.

Stanley, Mickey. Buku Ajar Keperawatan Gerotik Edisi 2.EGC.Jakarta; 2002

Stocklager, L Jaime & Liz Schaeffer. 2008. Asuhan Keperawatan Geriatrik.

Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing


Tidak ada komentar:

Posting Komentar