BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Demensia
adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional,
sehingga mengakibatkan gangguan
fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Demensia bukanlah suatu penyakit yang spesifik. Demensia merupakan
istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan kumpulan gejala yang bisa
disebabkan oleh berbagai kelainan yang mempengaruhi otak. Seorang penderita demensia memiliki fungsi
intelektual yang terganggu dan menyebabkan
gangguan dalam aktivitas sehari-hari maupun hubungan dengan orang sekitarnya.
Proses penuaan tidak dapat dihambat, baik
penuaan otak maupun fisik. Otak akan atropi, sel pyramidal neuron di neokortek
dan hipokampus akan mengkerut, pengurangan dendrit dan sinaps. Seiring dengan
itu maka gerakan dan reaksi akan melambat, akan tetapi kaum tua masih dapat
lari ataupun bermain tenis secukupnya. Ingatan akan kata berkurang tetapi
memori, semantik, pengetahuan, dan vocabulary tidaklah akan menurun
(Sjahrir,1999)
Penyakit mental pada orang tua sangat bervariasi, maka
terjadilah masalah besar, seperti masalah social dan ekonomi maupun medis yang
muncul akibat demensia senilis dan demensia multi infark.penyakit ini sering
terjadi bahkan meningkat karena populasi orang tua bertambah dan tidak
tersedianya tindakan pencegahan atau pengobatan. Banyak orang tua yang
menderita demensia juga menderita penyakit fisik penyerta lain.
Lanjut usia atau lansia identik dengan demensia atau pikun dan perlu diketahui bahwa pikun bukanlah hal yang normal pada proses penuaan. Lansia dapat hidup normal tanpa mengalami berbagai gangguan memori dan perubahan tingkah laku seperti yang dialami oleh lansia dengan demensia. Sebagian besar orang mengira orang bahwa demensia adalah penyakit yang hanya diderita oleh para lansia, kenyataannya demensia dapat diderita oleh siapa saja dari semua tingkat usia dan jenis kelamin (Harvey, R.J.et al.2003).
Lanjut usia atau lansia identik dengan demensia atau pikun dan perlu diketahui bahwa pikun bukanlah hal yang normal pada proses penuaan. Lansia dapat hidup normal tanpa mengalami berbagai gangguan memori dan perubahan tingkah laku seperti yang dialami oleh lansia dengan demensia. Sebagian besar orang mengira orang bahwa demensia adalah penyakit yang hanya diderita oleh para lansia, kenyataannya demensia dapat diderita oleh siapa saja dari semua tingkat usia dan jenis kelamin (Harvey, R.J.et al.2003).
Hal ini akan menitikberatkan pada demensia yang diderita
oleh lansia dan perawatan yang dapat dilakukan keluarga sebagai support system
yang penting untuk penderita demensia. Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis melakukan
pendekatan asuhan keperawatan terhadap pasien dengan demensia.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka dapat penulis rumuskan suatu permasalahan :
1.
Apa definisi dari demensia?
2.
Bagaimana epidemiologi dari demensia?
3.
Bagaimana etiologi dari demensia?
4.
Bagaimana patofisiologi dari demensia?
5.
Apa saja klasifikasi dari demensia?
6.
Bagaimana gejala klinis dari demensia?
7.
Apa pemeriksaan penunjang dari demensia?
8.
Bagaimana prognosis dari demensia?
9.
Bagaimana penatalaksanaan dari demensia?
1.
Mengetahui definisi dari demensia.
2.
Mengetahui epidemiologi dari demensia.
3.
Mengetahui etiologi dari demensia.
4.
Menjelaskan patofisiologi dari demensia.
5.
Mengetahui klasifikasi dari demensia.
6.
Mengetahui gejala klinis dari demensia.
7.
Mengetahui pemeriksaan penunjang dari
demensia.
8.
Mengetahui prognosis dari demensia.
9.
Menjelaskan penatalaksanaan dari
demensia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Dasar Penyakit
1.
Pengertian
a.
Demensia, atau kehilangan kognitif,
dapat menyerupai berbagai bentuk. Penyakit Alzheimer adalah salah satu
bentuknya, meskipun penyakit ini tidak digolongkan sebagai gangguan psikiatrik
berdasarkan Alzheimer’s Association. (Jaime L. Stockslager, 2008)
b.
Demensia adalah gangguan fungsi
intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak
berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran .(Wasilah Rochmah, 2009)
c.
Demensia adalah gangguan fungsi
intelektual tanpa gangguan fungsi vegetatif atau keadaan terjaga. Memori,
pengetahuan umum, pikiran abstrak, penilaian, dan interpretasi atas komunikasi
tertulis dan lisan dapat terganggu. (Elizabeth J. Corwin, 2009).
B.
Epidemiologi
dan Sejarah
Pada jaman Romawi dari kata Latin sebenarnya,
kata demens tidak memiliki arti konotasi yang spesifik. Yang pertama
kali menggunakan kata demensia adalah seorang enclyopedist yang bernama
Celcus di dalam publikasinya De re medicine sekitar AD 30 yang
mengartikan demens sebagai istilah gila. Seabad kemudian seorang tabib
dari Cappodocian yang bernama Areteus menggunakan istilah senile dementia pada
seorang pasien tua yang berkelakuan seperti anak kecil. Kemudian pada awal abad
ke 19 seorang psikiater Prancis yang bernama Pinel menghubungkan terminologi
demensia dengan perubahan mental yang progresif pada pasien yang mirip idiot
(Sjahrir,1999)
Sampai abad ke 19 istilah demensia dianggap
sebagai masa terminal dari penyakit kejiwaan yang membawa kematian. Baru pada
awal abad ke 20, yaitu tahun 1907 Alzheimer mempublikasikan suatu kasus yang
berjudul “A Unique Illnes involving cerebral cortex” pada pasien wanita
umur 55 tahun. Kemudian kasus itu ditabalkan sebagai penyakit Alzheimer. Pasien
ini masih relatif muda dan secara progresif bertahap mengalami gejala seperti
psikosis dan demensia kemudian meninggal 4-5 tahun setelah onset serangan
pertama. Pada otopsi ditemukan 1/3 dari bagian neuron kortek menghilang dari
neuron yang tinggal menggembung berisi gumpalan fiber dalam sitoplasmanya.
Alzheimer menduga adanya perubahan kimiawi di dalam neurofibril. Alzheimer lah
yang pertama kali menemukan dan menamakan neurofibrillary tangles (NT)
dimana NT bersamaan dengan senile plaque (SP) dianggap sebagai penanda
diagnostik Alzheimer Disease. (Sjahrir,1999)
Proses penuaan tidak dapat dihambat, baik
penuaan otak maupun fisik. Otak akan atropi, sel pyramidal neuron di neokortek
dan hipokampus akan mengkerut, pengurangan dendrit dan sinaps. Seiring dengan
itu maka gerakan dan reaksi akan melambat, akan tetapi kaum tua masih dapat
lari ataupun bermain tenis secukupnya. Ingatan akan kata berkurang tetapi
memori, semantik, pengetahuan, dan vocabulary tidaklah akan menurun
(Sjahrir,1999)
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di
atas 65 tahun dengan angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak
ada perbedaan antara pria dan wanita sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih
banyak wanita dengan rasio 1,6. Insiden demensia Alzheimer sangatlah berkaitan
dengan umur, 5% dari populasi berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa
merupakan penderita Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin banyak populasi orang
tua di Amerika Serikat dan Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak kasus
AD, dimana pada populasi umur 80 tahun didapati 50% penderita AD.
(Sjahrir,1999)
Laporan
Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut diatas 60 tahun adalah
7,2 % (populasi usia lanjut kurang lebih 15 juta). Peningkatan angka kejadian
kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu
populasi. Kira-kira 5 % usia lanjut 65 – 70 tahun menderita demensia dan
meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85
tahun. Pada negara industri kasus demensia 0.5 –1.0 % dan di Amerika jumlah
demensia pada usia lanjut 10 – 15% atau sekitar 3 – 4 juta orang. Demensia
terbagi menjadi dua yakni Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler. Demensia
Alzheimer merupakan kasus demensia terbanyak di negara maju Amerika dan Eropa
sekitar 50-70%. Demensia vaskuler penyebab kedua sekitar 15-20% sisanya 15- 35%
disebabkan demensia lainnya. Di Jepang dan Cina demensia vaskuler 50 – 60 % dan
30 – 40 % demensia akibat penyakit Alzheimer.
C.
Etiologi
Penyebab demensia menurut Nugroho
(2008) dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar :
1.
Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi
dasarnya tidak dikenal, Sering pada golongan ini tidak ditemukan atrofia
serebri, mungkin kelainan terdapat pada tingkat subseluler atau secara
biokimiawi pada sistem enzim, atau pada metabolisme seperti yang ditemukan pada
penyakit alzheimer dan demensia senilis.
2.
Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi
belum dapat diobati,
Penyebab utama dalam golongan ini diantaranya :
·
Penyakit degenerasi spino-serebelar.
·
Subakut leuko-ensefalitis sklerotik van Bogaert
·
Khorea Huntington
·
penyakit jacob-creutzfeld dll
3.
Sindoma demensia dengan etiologi penyakit yang dapat
diobati, dalam golongan ini diantaranya :
·
Penyakit cerebro kardiofaskuler
·
penyakit- penyakit metabolik
·
Gangguan nutrisi
·
Akibat intoksikasi menahun
·
Hidrosefalus komunikans
.
Perjalanan penyakit yang klasik
pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan
yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian. Usia
awitan dan kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan
kategori diagnostik masing-masing individu. Usia harapan hidup pada pasien
dengan demensia tipe Alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga
20 tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan
yang dini atau dengan riwayat keluarga
menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih
cepat. Dari suatu penelitian terbaru
terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup adalah
3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus menjalani pemeriksaan
medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien dengan demensia
potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang diberikan
telah dimulai sebelum kerusakan otak yang permanen terjadi.
Perjalanan penyakit yang paling
umum diawali dengan beberapa tanda yang samar yang mungkin diabaikan baik oleh
pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat dengan pasien. Awitan
yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan
dengan demensia tipe Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak,
dan gangguan metabolisme. Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma,
serangan jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara
mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam
perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan membawa
pasien untuk pergi berobat. Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif
terhadap penggunaan benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat
tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik. Pada
stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi ibarat “cangkang kosong”
dalam diri mereka sendiri, pasien mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik,
dan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
Dengan terapi psikososial dan
farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan bagian-bagian otak (self-healing),
gejala-gejala pada demensia dapat berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau
dapat juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada demensia yang
reversibel (misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan
normal, dan tumor otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia
bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe
Alzheimer) hingga demensia dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia
vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada demensia yang
terkait dengan trauma kepala).
Derajat keparahan dan perjalanan
penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh faktor psikososial. Semakin tinggi
intelegensia dan pendidikan pasien sebelum sakit maka semakin tinggi juga
kemampuan untuk mengkompensasi deficit intelektual. Pasien dengan awitan
demensia yang cepat (rapid onset) menggunakan pertahanan diri yang lebih
sedikit daripada pasien yang mengalami awitan yang bertahap. Kecemasan dan
depresi dapat memperkuat dan memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi
pada individu yang mengalami depresi dan mengeluhkan gangguan memori, akan
tetapi pada kenyataannya ia mengalami gangguan depresi. Ketika depresinya
berhasil ditanggulangi, maka defek kognitifnya akan menghilang.
(Pathway terlampir)
Demensia
dapat dibagi dalam 3 tipe yaitu :
a. Demensia Kortikal dan Sub Kortikal
1)
Demensia
Kortikal
Merupakan
demensia yang muncul dari kelainan yang terjadi pada korteks serebri substansia
grisea yang berperan penting terhadap proses kognitif seperti daya ingat dan
bahasa. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan demensia kortikal adalah
Penyakit Alzheimer, Penyakit Vaskular, Penyakit Lewy Bodies, sindroma
Korsakoff, ensefalopati Wernicke, Penyakit Pick, Penyakit Creutzfelt-Jakob.
2) Demensia Subkortikal
Merupakan
demensia yang termasuk non-Alzheimer, muncul dari kelainan yang terjadi pada
korteks serebri substansia alba. Biasanya tidak didapatkan gangguan daya ingat
dan bahasa. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan demensia kortikal adalah
penyakit Huntington, hipotiroid, Parkinson, kekurangan vitamin B1, B12, Folate,
sifilis,
hematoma subdural, hiperkalsemia, hipoglikemia, penyakit Coeliac, AIDS, gagal
hepar, ginjal, nafas, dll.
b. Demensia Reversibel dan Non reversible
1)
Demensia
Reversibel
Merupakan
demensia dengan faktor penyebab yang dapat diobati. Yang termasuk faktor
penyebab yang dapat bersifat reversibel adalah keadaan/penyakit yang muncul
dari proses inflamasi (ensefalopati SLE, sifilis), atau dari proses keracunan
(intoksikasi alkohol, bahan kimia lainnya), gangguan metabolik dan nutrisi
(hipo atau hipertiroid, defisiensi vitamin B1, B12, dll)
2)
Demensia
Non Reversibel
Merupakan
demensia dengan faktor penyebab yang tidak dapat diobati dan bersifat kronik
progresif. Beberapa penyakit dasar yang dapat menimbulkan demensia ini adalah
penyakit Alzheimer, Parkinson, Huntington, Pick, Creutzfelt-Jakob, serta
vaskular.
c. DemensiaPre Senilis dan Senilis
1.
Demensia
Pre Senilis merupakan demensia yang dapat terjadi pada golongan umur lebih muda
(onset dini) yaitu umur 40-50 tahun dan dapat disebabkan oleh berbagai kondisi
medis yang dapat mempengaruhi fungsi jaringan otak (penyakit degeneratif pada
sistem saraf pusat, penyebab intra kranial, penyebab vaskular, gangguan
metabolik dan endokrin, gangguan nutrisi, penyebab trauma, infeksi dan kondisi
lain yang berhubungan, penyebab toksik (keracunan), anoksia).
2.
Demensia
Senilis merupakan demensia yang muncul setelah umur 65 tahun. Biasanya terjadi
akibat perubahan dan degenerasi jaringan otak yang diikuti dengan adanya
gambaran deteriorasi mental.
F.
Tanda
dan Gejala
Secara umum
tanda dan gejala demensia adalah sbb:
1)
Menurunnya daya
ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, “lupa” menjadi bagian
keseharian yang tidak bisa lepas.
2)
Gangguan
orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan, tahun, tempat
penderita demensia berada
3)
Penurunan dan
ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar, menggunakan kata yang
tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali
4)
Ekspresi yang
berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat sebuah drama televisi,
marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain, rasa takut dan
gugup yang tak beralasan. Penderita demensia kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan
tersebut muncul.
5)
Adanya
perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan gelisa
6)
Seluruh jajaran fungsi kognitif rusak.
7)
Awalnya gangguan daya ingat jangka
pendek.
8)
Gangguan kepribadian dan perilaku, mood
swings
9)
Defisit neurologik motor & fokal
10)
Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi
dan kejang
11)
Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi,
waham & paranoia
12)
Agnosia, apraxia, afasia
13)
ADL (Activities of Daily Living)susah
14)
Kesulitan mengatur penggunaan keuangan
15)
Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian
16)
Lupa meletakkan barang penting
17)
Sulit mandi, makan, berpakaian,
toileting
18)
Pasien bisa berjalan jauh dari rumah dan
tak bisa pulang
19)
Mudah terjatuh, keseimbangan buruk
20)
Akhirnya lumpuh, inkontinensia urine
& alvi
21)
Tak dapat makan dan menelan
22)
Koma dan kematian.
1. Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis
demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada
demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia
Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin
sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara
lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum,
fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat.
a.
Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan
demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan.
b. Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan
gambaran spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer
stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.
c. Pemeriksaan cairan otak
Fungsi lumbal
diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut, penyandang dengan
imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas, demensia presentasi
atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada
CT scan.
d. Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid
polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4.
setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon
4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik
menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat.
Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi
pemeriksaan status mental, aktivitas sehari-hari / fungsional dan aspek
kognitif lainnya. .(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pemeriksaan
neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan demensia, terutama
pemeriksaan untuk fungsi kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori,
bahasa, konstruksi visuospatial, kalkulasi dan problem solving.
Pemeriksaan neuropsikologi sangat berguna terutama pada kasus yang sangat
ringan untuk membedakan proses ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya syarat
pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Mampu menyaring secara
cepat suatu populasi
2) Mampu mengukur
progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan demensia. (Sjahrir,1999)
Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE) adalah
test yang paling banyak dipakai. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003
;Boustani,2003 ;Houx,2002 ;Kliegel dkk,2004) tetapi sensitif untuk mendeteksi
gangguan memori ringan. (Tang-Wei,2003)
Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering
dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi
gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi dalam
kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan
gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi.(Asosiasi
Alzheimer Indonesia,2003)
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling
rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini
mengidentifikasikan resiko untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003).
Pada penelitian Crum R.M 1993 didapatkan median skor MMSE adalah 29 untuk usia
18-24 tahun, median skor 25 untuk yang > 80 tahun, dan median skor 29 untuk
yang lama pendidikannya >9 tahun, 26 untuk yang berpendidikan 5-8 tahun dan
22 untuk yang berpendidikan 0-4 tahun. Clinical Dementia Rating (CDR)
merupakan suatu pemeriksaan umum pada demensia dan sering digunakan dan ini
juga merupakan suatu metode yang dapat menilai derajat demensia ke dalam
beberapa tingkatan. (Burns,2002). Penilaian fungsi kognitif pada CDR
berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan
keputusan, aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan
diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan ini adalah merupakan suatu derajat
penilaian fungsi kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan
kognitif. Nilai 0,5, untuk Quenstionable dementia. Nilai 1,
menggambarkan derajat demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu derajat
demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat demensia yang berat.
(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003, Golomb,2001)
Dari
pemeriksaan klinis 42 penderita probable alzheimer menunjukkan bahwa nilai
prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu:
a. Derajat
beratnya penyakit
b. Variabilitas
gambaran klinis
c. Perbedaan
individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin
Ketiga faktor
ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling mempengaruhi
prognostik penderita alzheimer.Pasien dengan penyakit Alzheimer mempunyai angka
harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya meninggal
dunia akibat infeksi sekunder.
I. Penatalaksanaan
1. Terapi Psikososial
Kemerosotan
status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan demensia. Keinginan
untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka pendek hilang sebelum
hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak
pasien biasanya
mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya
disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar
seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin
sedikit menggunakan
daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasan
yang berat dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman
akan dirinya (sense of self) menghilang.
Pasien
biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif sehingga
mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang
dideritanya.Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan
penerimaan akan perburukan disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya.
Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi
aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek fungsi
ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk
menemukan cara “berdamai” dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender
untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur
aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat.
Intervensi
psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut
membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan
karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.
2.
Farmakoterapi
Dokter
dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi untuk
depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi
dokter juga harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada
pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek
sedasi).
Secara
umum, obat-obatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan. Donezepil,
rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang digunakan
untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer. Obat-obat
tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan
potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan memori.
Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori ringan
hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui
penguatan neurotransmisi kolinergik.
Donezepil
ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan karena
potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia
mengenai rivastigmin
dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping
neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari
obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif.
Menurut Witjaksana Roan terapi
farmakologi pada pasien demensia berupa:
·
Antipsikotika tipik:
Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
·
Antipsikotika atipik:
§ Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
§ Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
§ Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
§ Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
§ Abilify 1 x 10 - 15 mg
·
Anxiolitika
§ Clobazam 1 x 10 mg
§ Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
§ Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
§ Buspirone HCI 10 - 30 mg
§ Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
§ Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
·
Antidepresiva
§ Amitriptyline 25 - 50 mg
§ Tofranil 25 - 30 mg
§ Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
§ SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg,
Citalopram 1x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
§ Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
·
Mood stabilizers
§ Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
§ Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
§ Topamate 1 x 50 mg
§ Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
§ Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
§ Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
§ Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada
kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna lagi, namun bila
diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and
Psychological Symptoms of Dementia):
·
Nootropika:
§ Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
§ Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
§ Sabeluzole (Reminyl)
·
Ca-antagonist:
§ Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
§ Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
§ Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
§ Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg
infuse
§ Pantoyl-GABA
·
Acetylcholinesterase
inhibitors
§ Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
§ Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase
inhibitor, 5 mg 1x/hari
§ Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
§ Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
§ Memantine 2 x 5 - 10 mg
Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif
tanpa disertai gangguan kesadaran. Tanda dan gejalanya yakni seluruh jajaran fungsi kognitif rusak, awalnya
gangguan daya ingat jangka pendek, gangguan kepribadian dan perilaku, mood swings, defisit
neurologik motor & fokal, mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan kejang, gangguan
psikotik: halusinasi, ilusi, waham & paranoia, agnosia,
apraxia, afasia, kesulitan mengatur penggunaan keuangan, tidak bisa
pulang ke rumah bila bepergian.
Kita sebagai seorang perawat perlu
mengetahui tentang penyakit dimensia selain untuk menambah wawasan pengetahuan
kita sebagai seorang perawat, juga untuk berbagi kepada masyarakat tentang
informasi tentang penyakit dimensia. Dalam merawat pasien dimensia pada lansia
seorang perawat juga harus memperhatikan keselamatan diri sendiri dan tidak
lupa memperhatikan keselamatan pasien. Makalah ini masih jauh dari sempurna,
diharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk kesempurnaan
makalah ini.
Isaacs, Ann.2004.Keperawatan Kesehatan
Jiwa Dan Psikiatrik.Jakarta:EGC
Kushariyadi.2010. Askep pada Klien Lanjut Usia. Salemba
medika; Jakarta
Lumbantobing, SM. 2006. Kecerdasan pada Usia Lanjut dan Demensia.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Nugroho,
Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik Edisi 2 Buku Kedokteran. EGC :
Jakarta.
Stanley, Mickey. Buku Ajar Keperawatan
Gerotik Edisi 2.EGC.Jakarta; 2002
Stocklager, L Jaime & Liz
Schaeffer. 2008. Asuhan Keperawatan
Geriatrik.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
InternaPublishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar