BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kita sering tidak menyadari
pentingnya bahasa, karena kita sepanajang hidup menggunakannya. Kita baru sadar
bahasa itu penting ketika kita menemui jalan buntu dalam menggunakan bahasa,
misalnya ketika kita berupaya berkomunikasi dengan orang yang sama sekali tidak
memahami bahasa kita yang membuat frustasi ; ketika kita sulit menerjamahkan
suatu kata, frase atau kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain; ketika kita
harus menulis lamaran atau diwawancarai dalam bahasa inggris untuk memperoleh
pekerjaan yang bagus. Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau
menjuluki orang ,objek dan peristiwa. Setiap orang mempunyai nama untuk
identifikasi sosial. Orang juga dapat menamai apa saja, objek-objek yang
berlainan,termasuk perasaan tertentu yang mereka alami. Penanaman adalah
dimensi pertama bahasa dan basis bahasa pada awalnya dilakukan manusia sesuaka
mereka yang lalu menjadi konvensi(Aubrey Fisher dan Catherine Adam,1994). Suatu
objek mempunyai beberapa tingkat abstraksi .ibu kita adalah ibu,ibu adalah
wanita, wanita adalah manusia ,manusia adalah makhluk hidup dan makhluk hidup
adalah ciptaan Tuhan . semakin luas kelasnya, semakin abstrak konsep
tersebut.sepanjang hidup kita sebenarnya belajar mengabstraksikan segala
sesuatu.
Dalam
kebanyakan peristiwa komunikasi yang berlangsung, hampir selalu melibatkan
penggunaan lambang-lambang verbal dan non verbal secara bersama-sama. keduanya
, bahasa verbal dan non verbal, memiliki sifat yang holistic( masing-masing
tidak dapat dipisahkan). Dalam banyak tindakan komunikasi , bahasa non verbal
menjadi komplemen atau pelengkap bahasa verbal. Lambang-lambang non verbal juga
dapat berfungsi kontradiktif, pengulangan, bahkan pengganti ungkapan-ungkapan
verbal, misalnya ketika seseorang mengatakan terima kasih( bahasa verbal) maka
orang tersebut akan melengkapinya dengan tersenyum( bahasa non verbal), seseorang
setuju dengan pesan yang disampaikan orang lain dengan anggukan kepala ( bahasa
non verbal). Dua komunikasi tersebut merupakan contoh bahwa bahasa verbal dan
non verbal bekerja bersama-sama dalam menciptakan makna suatu perilaku
komunikasi.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan komunikasi verbal?
2. Apa
yang dimaksud dengan komunikasi non verbal?
3. Bagaimana
budaya kerja dalam pelayanan kesehatan?
4. Bagaimana
standar pelayanan dan kepuasan pasien?
C. Tujuan
1. Agar
mahasiswa dapat mengetahui tentang komunikasi verbal.
2. Agar
mahasiswa dapat mengetahui tentang komunikasi non verbal.
3. Agar
mahasiswa dapat mengetahui tentang budaya kerja dalam pelayanan kesehatan.
4. Agar
mahasiswa dapat mengetahui tentang standar pelayanan dan kepuasan pasien.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Komunikasi
Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan
simbol-simbol verbal, baik secara lisan maupun tertulis. Komunikasi verbal
adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua
rangsangan bicara yang kita sadari termasuk kedalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha
yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara verbal.
Secara etimologis, kata verbal berasal dari verb (bahasa Latin)
yang berarti word (kata). Word merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, rhema,
yang berarti ‘sesuatu’ yang digunakan untuk menggambarkan tindakan, eksistensi,
kejadian, atau peristiwa, atau ‘sesuatu’ yang digunakan sebagai pembantu atau
penghubung sebuah predikat. Kata ‘verbal’ sendiri berasal dari bahasa Latin,
verbalis, verbum yang sering pula dimaksudkan dengan ‘berarti’ atau ‘bermakna
melalui kata-kata’, atau yang berkaitan dengan ‘kata’ yang digunakan untuk
menerangkan fakta, ide, atau tindakan yang lebih sering berbentuk percakapan
lisan daripada tulisan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa komunikasi
verbal adalah bahasa – kata dengan aturan tata bahasa, baik secara lisan maupun
secara tertulis. Dan hanya manusia yang dapat melambangkan keadaan dunia
malalui bahasa.
Setiap kebudayaan menjadikan bahasa sebagai media untuk
menyatakan prinsip-prinsip ajaran, nilai dan norma budaya kepada para
pendukungnya.
1. Hambatan -
hambatan dalam interaksi bahasa verbal, yaitu :
a. Polarisasi
Polarisasi adalah kecenderungan untuk melihat dunia dalam
bentuk lawan kata dan menguraikanya dalam bentuk ekstrim – baik atau buruk,
positif atau negative, sehat atau sakit, pandai atau bodoh. kita mempunyai kecenderungan kuat
untuk hanya melihat titik-titik ekstrim dan mengelompokkan manusia, obyek, dan
kejadian. Sementara itu banyak juga orang-orang berada pada titik tengah-tengah
dari keekstriman tersebut.
Seandainya
komunikator maupun komunikan melihat seperti itu maka sudah dapat dipastikan di
antara keduanya selalu akan terjadi sikap apriori. Padahal pada konteks
tersebut dibutuhkan komunikator dan komunikan harus bersikap netral.
b. Orientasi Intensional
Mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat manusia,
obyek, dan kejadian sesuai dengan ciri yang melekat pada mereka. Misalnya,
seorang presenter yang berbicara di layar tv, dan kebetulan wajah presenter
tersebut kurang menarik, maka biasanya komunikan akan intensional menilainya
sebagai tidak menarik sebelum mendengar apa yang dikatakannya. Orientasi
intensional terjadi bila kita bertindak seakan-akan label adalah lebih penting
daripada orangnya sendiri. Sebaliknya, orientasi ekstensional adalah
kecenderungan untuk terlebih dahulu memandang manusia, obyek, dan kejadian dan
baru setelah itu memerhatikan cirinya.
c. Kekacauan karena keliru menyimpulkan fakta
Kita dapat membuat pernyataan tentang dunia yang kita amati,
dan kita dapat membuat pernyataan tentang apa yang belum pernah kita lihat.
Dari segi bentuk atau struktur, pernyataan-pernyataan ini sama saja, dan kita
tidak dapat membedakan mereka dengan analisis gramatika. Sebagai contoh, kita
dapat mengatakan, “Ia mengenakan jaket biru,” seperti juga kita dapat
mengatakan “Ia melontarkan tatapan yang penuh kebencian”. Dari segi struktur,
kedua kalimat ini serupa. Tetapi kita tahu bahwa keduanya merupakan jenis
pernyataan yang sangat berbeda. Kita dapat melihat jaket dan warnanya yang
biru, tetapi bagaimana kita melihat “tatapan yang penuh kebencian?” Jelas, ini
bukanlah pernyataan deskriptif, melainkan pernyataan inferensial (penyimpulan).
Ini adalah pernyataan yang dibuat berdasarkan bukan hanya pada apa yang kita
lihat, melainkan juga pada apa yang kita simpulkan.
d. Potong kompas
Potong kompas adalah pola kesalahan evaluasi di mana orang
gagal mengkomunikasikan makna yang mereka maksudkan. William Haney (1973)
mendefinisikan sebagai “pola salah komunikasi yang terjadi bila pengirim pesan
dan penerima saling menyalah-artikan makna pesan mereka”. Asumsi yang mendasari
potong kompas adalah bahwa kata-kata memiliki makna intrinsic. Kita secara
keliru menganggap bahwa bila dua orang menggunakan kata yang sama, mereka
memaksudkan hal yang sama pula, dan bila mereka menggunakan kata yang berbeda
mereka memaksudkan hal yang berbeda. Tetapi, kata tidak mempunyai makna makna
ada dalam diri manusia. Pasangan yang sedang jatuh cinta, mungkin mempunyai
maksud yang berbeda. Yang seorang mungkin bermaksud menyatakan adanya komitmen
yang langgeng dan eksklusif, sementara yang lain mungkin mengartikannya sebagai
hubungan seksual.
e. Kesemuan
Karena dunia ini sangat kompleks, kita tidak pernah bisa
mengetahui semua hal atau mengatakan segalanya tentang sesuatu. Kita tidak
pernah melihat sesuatu secara keseluruhan. Kita melihat bagian dari suatu
obyek, kejadian, atau orang, dan atas dasar yang terbatas itu kemudian kita
menyimpulkan bagaimana rupa keseluruhan. Tentu saja kita tidak mungkin membuat
kesimpulan dengan bukti-bukti yang tidak memadai karena akan berdampak pada
kekeliruan di masa datang.
f. Evaluasi Statis
Bila kita membuat abstraksi (ringkasan) tentang sesuatu atau
seseorang, atau kita merumuskan pernyataan verbal tentang suatu kejadian atau
seseorang, pernyataan ringkas itu bersifat statis dan tidak berubah. Menurut
persepsi kita, cara berkomunikasi dan materi komunikasi komunikator tersebut
tidak baik sehingga kita membuat abstraksi tentang komunikator itu pun tidak
baik. Evaluasi kita tentang komunikator tersebut bersifat statis tetap seperti
itu dan tidak berubah. Akibatnya, mungkin selamanya kita tidak akan mau
menonton atau mendengar komunikator tersebut berbicara. Sebuah kesalahan pada
saat proses komunikasi tidak dapat di balik atau di kembalikan seperti semula
dengan kata lain seperti yang dikatakan dalam prinsip komunikasi bersifat
irreversible. Padahal, seharusnya kita menyadari bahwa obyek atau orang yang
kita bicarakan itu dapat sangat berubah.
g. Indiskriminasi
Indiskriminasi terjadi bila kita memusatkan perhatian pada
sekelompok orang, benda, atau kejadian dan tidak mampu melihat bahwa
masing-masing bersifat unik atau khas dan perlu diamati secara individual.
Indiskriminasi juga merupakan inti dari stereotip. Terlepas dari apakah
stereotip itu positif atau negative, masalah yang ditimbulkannya tetap sama.
Sikap ini sering membuat kita mengambil jalan pintas yang seringkali tidak
tepat. Ketika kita bertemu dengan seseorang yang belum pernah kita kenal maka
kita akan mengelompokannya ke dalam kategori-kategori tertentu, seperti; agama,
ras, disiplin ilmu. Hal yang seringkali dilupakan bahwa mereka memiliki
kekhasan tertentu yang membedakannya dengan manusia lain bukan selalu
berdasarkan kategori-kategori tersebut. Misalnya, komunikator yang berasal dari
suku Batak, maka komunikan memberikan gambaran komunikator tersebut berkarakter
keras. Atau bila komunikator itu berasal dari disiplin ilmu hukum, komunikan
memberikan gambaran komunikator bersifat kaku dan sangat detil. Pada akhirnya,
apapun macam kategori yang digunakan oleh komunikan, komunikan lupa memberikan
perhatian yang cukup terhadap karakteristik khas komunikator. Indiskriminasi
merupakan pengingkaran dari kekhasan orang lain.
2. Selain itu
bahasa dalam proses komunikasi antar budayanya juga memiliki fungsi – fungsi
sebagai berikut:
a. Bahasa digunakan untuk menjelaskan dan membedakan sesuatu. Kata
“Dhalem” yang diucapkan oleh sungkono berbeda dengan kata “apa”. Tapi
orang Indonesia pada umumnya tahu bahwa kata “dhalem” itu merujuk pada bahasa
jawa.
b. Bahasa berfungsi sebagai sarana interaksi sosial. Kita
dalam berinteraksi harus tahu bahwa siapa lawan interaksi kita (komunikan), dari
tingkatan mana yang artinya kita harus dapat tepat memilih menggunakan low
contac atau high contac. Seperti ketika anda sedang bertugas memberikan
penyuluhan tentang KB di daerah terpencil dengan menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar serta ditambahkan dengan bahasa – bahsa kedokteran. Apa
yang akan terjadi? Pesan yang anda ingin sampaikan tidak akan tersampaikan
karena bahasa yang digunakan terlalu canggih.
c. Bahasa berfungsi sebagai sarana pelepas tekanan dan emosi. Bila
kita sedang merasakan kegembiraan, kesedihan, atau pun marah maka kata – kata
yang diucapkan akan mengandung makna perasaan tersebut. Kata : aduh, hore, dan
sebagainya adalah pelampiasan dari perasaan yang sedang kita alami.
d. Bahasa sebagai sarana manipulatif. Bahasa digunakan untuk mengubah
tingkah laku seseorang yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
tindakan yang salah.
B. Komunikasi
Non Verbal
Menurut
Edward Sapir, Komunikasi nonverbal adalah sebuah kode yang luas yang ditulis
tidak di mana pun juga, diketahui oleh tidak seorang pun dan dimengerti oleh
semua (an elaborate code that is written nowhere, known to none, and understood
by all). Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya namun juga
melalui perilaku non verbalnya. Pentingnya perilaku non verbal ini misalnya
dilukiskan dalam frase, ”bukan apa yang ia katakan tapi bagaimana ia
mengatakannya”. Lewat perilaku non verbalnya, kita dapat mengetahui suasana
emosional seseorang, apakah ia bahagia, bingung atau sedih.
Secara
sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut
Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1991), komunikasi non verbal mencakup
semua rangsangan dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu
dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial
bagi pengirim atau penerima, jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja
juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara
keseluruhan kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan
tersebut bermakna pada orang lain.
Dalam
proses non verbal yang relevan dengan komunikasi antar budya terdapat tiga
aspek yaitu; perilaku non verbal yang berfungsi sebagai bahasa diam, konsep
waktu dan penggunaan dan pengaturan ruang. Sebenarnya sangat banyak aktivitas
yang merupakan perilaku non verbal ini, akan tetapi yang berhubungan dengan
komunikasi antar budaya ini biasanya adalah sentuhan. Sentuhan sebagai bentuk
komunikasi dapat menunjukkan bagaimana komunikasi non verbal merupakan suatu produk
budaya. Di Jerman kaum wanita seperti juga kaum pria biasa berjabatan tangan
dalam pergaulan sosial, di Amerika Serikat kaum wanita jarang berjabatan
tangan. Di Muangthai, orang-orang tidak bersentuhan (berpegangan tangan dengan
lawan jenis) di tempat umum, dan memegang kepala seseorang merupakan suatu
pelanggaran sosial.
Dari
penjelasan diatas tentang prilaku komunikasi nonverbal diatas dapat disimpulkan
beberapa hal penting yang menjadi yang menjadi ciri dari pesan yang bersifat
nonverbal.
1. Ciri – ciri
komunikasi non verbal perlu diketahui dan dipahami terutama dalam kaitanya
dengan komunikasi antar budaya. Beberapa hal tersebut adalah:
a. Suatu
pesan nonverbal yang sama akan mempunyai makna berbeda diperlihatkan pada
situasi dan kondisi yang berbeda pula. Misalnya mencubit bisa berarti ungkapan
rasa sayang dan berarti pula bisa sebagai ungkapan kesal dalam situasi dan
kondisi yang berbeda.
b. Suatu
pesan nonverbal yang sama dapat mempunyai pengertian yang berbeda pada suatu
masyarakat atau bangsa yang satu dengan masyarakat dari bangsa yang lainnya.
Contohnya, pada bangsa Indonesia menggelengkan kepala berarti menandakan
“tidak”, sedangkan untuk bangsa India menggelengkan kepala berarti menandakan
setuju “iya”.
c. Pemahaman
terhadap pesan nonverbal juga tergantung pada pesan verbal yang menyertainya.
Jadi adakalanya suatu prilaku yang sama akan berbeda artinya jika pesan verbal
yang dikatakanya berbeda. Misalnya, ketikan seseorang menggarukkan kepalanya
disertai dengan kata “aduh gatal sekali kepala ini” berarti itu menandakan
bahwa ia memang benar sedang merasakan kepalanya gatal. Akan tetapi jika
disertai dengan “aduh apa ya, hmmm bingung” itu kan diartikan seperti ia sedang
bingung.
d. Dalam
kegiatan komunikasi, pemahaman terhadap pesan nonverbal harus dilihat sebgai
kesatuan dengan pemahaman terhadap pesan verbal yang disampaikan. Misalnya,
jika seseorang mengungkapkan rasa bahagia, kita harus melihat apakah prilaku
nonverbal yang diperlihatkanya mendukung pesan – pesan verbalnya atau tidak.
Seperti, ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan lain – lainya.
e. Pesan
nonverbal dapat bermakna ganda biasanya bersifat bertentangan. Hal ini terjadi
dalam pesan komunikasi ditemui adanya ketidak sesuaian antara pesan verbal dan
pesan nonverbal. Misalnya, seseorang mengatkan bahwa dirinya sedang bahagia
tetapi rasa bahagia itu tidak diekspresikan dengan prilaku nonverbal untuk
mendukung apa yang dikatakan, seperti ekspresi wajah yang sendu atau gerakan
tubuh yang lunglai. Ketika kita berada dalam posisi tersebut dan biasanya dalam
kegiatan komunikasi, kita lebih percaya pada prilaku nonverbal yang
diperlihatkan oleh lawan bicara kita.
f. Pesan
nonverbal diekspresikan secara bersama – sama oleh seluruh tubuh manusia untuk
mengkomunikasikan pesan – pesan tertentu. Misalnya, rasa bahagia tidak hanya
diungkapkan oleh ekspresi wajah saja tetapi juga dengan sorotan mata, gerakan
tangan, dan sikap tubuh, jadi pemahaman prilaku nonverbal harus dilihat secara
menyeluruh.
g. Pemberian
makna terhadap suatu pesan nonverbal didasarkan pada nilai atau norma yang
berlaku pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Misalnya di Indonesia memegang
kepala anak berarti sebagai tanda menyayanginya, sebaliknya di Muangthai itu
dianggap sebagai pelanggaran sosial.
2. Dalam
proses komunikasinya, komunikasi non verbal dapat menjalankan sejumlah fungsi
penting, yakni :
a. Repetisi atau mengulangi prilaku verbal
Perilaku nonverbal dapat mengulangi apa yang telah
disampaikan dalam pesan verbal. Perilaku nonverbal di sini berfungsi untuk
memperkuat pemaknaan dari pesan verbal. Misalnya, kepala digelengkan ketika
mengatakan ”tidak” atau menganggukkan kepala berbarengan dengan mengatakan
“iya”.
b. Memperteguh, menekankan atau melengkapi prilaku verbal
Kita menggunakan komunikasi nonverbal untuk menonjolkan atau
menekankan beberapa bagian dari pesan verbal, serta juga menggunakan nya untuk
memperkuat warna atau pelengkap yang sudah dinyatakan oleh pesan verbal.
Misalnya, ketika kita mendeskripsikan tinggi maka tangan kita di gerakan dengan
mengangkat tangan kira-kira setinggi yang maksudkan. Atau saat kita berpidato
melakukkan geraka – gerakan tangan serta bahasa tubuh lainya.
c. Nonverbal dapat menggantikan prilaku verbal.
Menggoyangkan tangan dengan telapak tangan menghadap ke
depan (sebagai pengganti kata “tidak”). Atau menunjuk dengan jari telunjuk ke
arah ruang depan untuk menjawab pertanyaan dari seorang yang bertanya
“dimana si Ali?”.
d. Regulasi (mengatur) prilaku verbal
Ketika kita berada didalam ruang kuliah lalu anda mengenakan
jaket, membereskan buku, dan melihat jam tangan anda ketika waktu kuliah hampir
habis, sehingga doesen segera menutup kuliahnya.
e. Membantah atau kontradiksi dengan prilaku verbal.
Saat istri menanyakan komentar mengenai baju baru yang
dibelinya ke pada suami dan si suami mengatakan “bagus!. Bagus!” tetapi seraya
membaca koran. Adakalanya seseorang mengatakan suatu pesan verbal tertentu,
tetapi tidak diikuti oleh perilaku nonverbal yang mendukung pesan verbalnya.
C. Budaya
Kerja Dalam Pelayanan Kesehatan
Masyarakat semakin
menuntut pelayanan yang bermutu dan kadang-kadang canggih. Rumah sakit sebagai
mata rantai pelayanan kesehatan mempunyai fungsi utama penyembuhan dan
pemulihan. Rumah sakit ini bersama dengan puskesmas melalui jalur rujukan
diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan paripuma bagi masyarakat.
Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan maka fungsi
pelayanan rumah sakit secara bertahap perlu ditingkatkan agar menjadi lebih
efisien, sehingga dapat menampung rujukan dari puskesmas dan sarana kesehatan
lainnya.
Di beberapa rumah sakit, suatu
rencana strategik (renstra) yang telah berhasil disusun oleh suatu tim khusus
dan disahkan oleh pimpinan tidak berjalan mulus dalam penerapannya. Sebab hal
itu terjadi karena ternyata tidak didukung oleh komitmen karyawan terhadap nilai-nilai
dan keyakinan dasar. Untuk membangun komitmen tinggi itulah diperlukan dukungan
suatu kultur atau budaya organisasi rumah sakit yang positif.
Pelayanan kesehatan yang baik
merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Semua orang ingin dilayani dan mendapatkan
kedudukan yang sama dalam pelayanan kesehatan. Dalam Undang Undang Dasar Tahun
1945 Pasal 28 dan Pasal 34 menyatakan negara menjamin setiap warga negara
mendapatkan hidup sejahtera, tempat tinggal, kesehatan dan pelayanan kesehatan
yang ada di Indonesia, namun sering terjadi dikotomi dalam upaya pelayanan
kesehatan, pelayanan kesehatan yang baik hanya diberikan bagi kalangan
masyarakat yang mampu sedangkan masyarakat yang kurang mampu tidak mendapatkan
perlakuan yang adil dan proporsional.
Pelayanan kesehatan saat ini
memiliki paradigma baru yaitu menempatkan pasien sebagai pelanggan dan menjadi
fokus pelayanan, yang berarti kepuasan, keselamatan dan kenyamanan merupakan
hal utama bagi pasien. Harapan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan mencakup
pelayanan yang indikatif dan bermutu,
Kesehatan adalah keadaan sejahtera
badan, jiwa, dan social yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara
social dan ekonomi. (UU Kesehatan No.23 tahun 1992 dalam bukunya Soekidjo
Notoatmodjo, 2007 :3).Hal tersebut berarti bahwa kesehatan seseorang tidak
hanya diukur dari aspek fisik, mental dan social saja, tetapi juga diukur dari
produktifitasnya.
Dalam rangka untuk mewujudkan kesehatan dilakukan upaya
kesehatan, yaitu setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat (Soekidjo Notoatmodjo, 2007
: 8). Upaya mewujudkan kesehatan dilihat dari dua aspek yaitu pemeliharaan
kesehatan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan mencakup dua aspek
yaitu aspek kuratif dan rehabilitative sedangkan peningkatan kesehatan mencakup
dua aspek juga yaitu aspek preventif dan promotif. Hal tersebut dapat diartikan
bahwa upaya untuk mewujudkan kesehatan dilakukan secara komprehensif, oleh
sebab itu upaya kesehatan promotif mengandung makna bahwa kesehatan seseorang,
kelompok, atau individu harus selalu diupayakan sampai tingkat yang optimal.
Hubungan Kebudayaan dengan
Pelayanan Kesehatan :
Menjadi
sakit memang tidak diharapkan oleh semua orang apalagi penyakit-penyakit yang
berat dan fatal. Masih banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana penyakit
itu dapat menyerang seseorang. Ini dapat dilihat dari sikap merka terhadap
penyakit tersebut.
Ada
kebiasaan dimana setiap orang sakit diisolasi dan dibiarkan saja. Kebiasaan ini
ini mungkin dapat mencegah penularan dari penyakit-penyakit infeksi seperti
cacar dan TBC.
Bentuk pengobatan yang
di berikan biasanya hanya berdasarkan anggapan mereka sendiri tentang bagaimana
penyakit itu timbul. Kalau mereka menganggap penyakit itu disebabkan oleh
hal-hal yang supernatural atau magis, maka digunakan pengobatan secara
tradisional. Pengobatan modern dipilih bila meraka duga penyebabnya adalah
fator ilmiah. Ini dapat merupakan sumber konflik bagi tenaga kesehatan, bila ternyata
pengobatan yang mereka pilih berlawanan dengan pemikiran secara medis.
Bila
suatu bentuk pelayanan kesehatan baru di perkenalkan kedalam suatu masyarakat
dimana faktor-faktor budaya masih kuat. Biasanya dengan segera mereka akan
menolak dan memilih cara pengobatan tradisional sendiri. Apakah mereka akan
memilih cara baru atau lama, akan memberi petunjuk kepada kita akan kepercayaan
dan harapan pokok mereka lambat laun akan sadar apakah pengobatan baru tersebut
berbeda , sama sekali tidak berguna, atau lambat memberi pegaruh. Namun mereka
lebih menyukai pengobatan tradisional karena berhubungan erat dengan dasar
hidup mereka. Maka cara baru itu akan dipergunakan secara sangat terbatas, atau
untuk kasus-kasus tertentu saja.
Pelayanan
kesehatan yang moderen oleh sebab itu harus disesuaikan dengan kebudayaan
setempat, akan sia-sia jika ingin memaksakan sekaligus cara-cara moderen dan
menyapu semua cara-cara tradisional. Bila tenaga kesehatan berasal dari lain
suku atau bangsa, sering mereka merasa asing dengna penduduk setempat . ini
tidak aan terjadi jika tenaga kesehatan tersebut berusaha mempelajari
kebudayaan mereka dan menjembatani jarak yang ada diantara mereka. Dengan sikap
yang tidak simpatik serta tangan besi, maka jarak tersebut akan semakin lebar.
Setiap masyarakat mempunyai cara pengobatan dan kebiasaan yang berhubungan
dengan ksehatan masing-masing. Sedikit usaha untuk mempelajari kebudayaan
mereka akan mempermudah memberikan gagasan yang baru yang sebelumnya tidak
mereka terima.
Pemuka-pemuka
didalam masyarakat itu harus di yakinkan sehingga mereka dapat memberikan
dukungan dan yakin bahwa cara-cara baru tersebut bukan untuk melunturkan
kekuasaan mereka tetapi sebaliknya akan memberika manfaat yang lebih
besar.pilihan pengobatan dapat menimbulkan kesulitan. Misalnya bila pengobatan
tradisional biasanya mengunakan cara-cara menyakitkan seperti mengiris-iris
bagian tubuh atau dengan memanasi penderita,akan tidak puas hanya dengan
memberikan pil untuk diminum. Hal tersebut diatas bisa menjadi suatu penghalang
dalam memberikan pelayanan kesehatan, tapi dengan berjalannya waktu mereka akan
berfikir dan menerima.
Hubungan
antara faktor sosial budaya dan pelayanan kesehatan sangatlah penting untuk di
pelajari khususnya bagi tenaga kesehatan. Bila suatu informasi kesehatan yang
baru akan di perkenalkan kepada masyarakat haruslah di barengi dengan
mengetahui terlebih dahulu tentang latar belakang sosial budaya yang dianut di
dalam masyarakat tersebut.
Kebudayaan yang dianut
oleh masyarakat tertentu tidaklah kaku dan bisa untuk di rubah, tantangannya
adalah mampukah tenaga kesehatan memberikan penjelasan dan informasi yang rinci
tentang pelayanan kesehatan yang akan di berikan kepada masyarakat. Ada banyak
cara yang bisa dilakukan, mulai dari perkenalan program kerja,
menghubungi tokoh-tokoh masyarakat maupun melakukan pendekatan secara personal.
D. Standar
Pelayanan dan Kepuasan Pasien
1.
Standar Pelayanan Rumah Sakit
Dalam
memberikan pelayanan yang berkualitas bagi masyarakat, perlu adanya Standar
Pelayanan Rumah Sakit, yang berarti adalah penyelenggaraan pelayanan manajemen
rumah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan keperawatan
baik rawat inap maupun rawat jalan yang minimal harus diselenggarakan oleh
rumah sakit.
Tugas
rumah sakit secara umum adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna
dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang
dilaksanakan secara serasi, terpadu dengan upaya peningkatan serta pencegahan
dan pelaksanaan upaya rujukan.
a.
Berikut merupakan tugas sekaligus fungsi dari rumah
sakit secara lengkap, yaitu:
1. Pelayanan gawat darurat
2. Pelayanan rawat jalan
3. Pelayanan rawat inap
4. Pelayanan bedah
5. Pelayanan persalinan dan
perinatologi
6. Pelayanan intensif
7. Pelayanan radiologi
8. Pelayanan laboratorium patologi
klinik
9.
Pelayanan
rehabilitasi medik
10. Pelayanan farmasi
11. Pelayanan gizi
12. Pelayanan
13. Pelayanan keluarga miskin
14. Pelayanan rekam medis
15. Pengelolaan limbah
16. Pelayanan administrasi
manajemen
17. Pelayanan ambulans/kereta
jenazah
18. Pelayanan pemulasaraan
jenazah
19. Pelayanan laundry
20. Pelayanan pemeliharaan
sarana rumah sakit
21. Pencegah Pengendalian
Infeksi.
Penerapan patient
safety sangat penting untuk meningkatkan mutu rumah sakit dalam rangka
globalisasi. Dengan adanya program keselamatan dan keamanan pasien (patient
safety), diharapkan rumah sakit bertanggung jawab untuk meningkatkan mutu
pelayanan dengan standar yang tinggi sesuai dengan kondisi rumah sakit sehingga
terwujudnya pelayanan medik prima di rumah sakit. Dalam World Health Assembly
pada tanggal 18 Januari 2002, WHO Excecutive Board yang terdiri dari 32 wakil
dari 191 negara anggota telah mengeluarkan suatu resolusi yang disponsori oleh,
pemerintah Inggris, Belgia, Italia dan Jepang untuk membentuk program patient
safety yang terdiri dari 4 aspek utama yakni :
1)
Penetapan norma, standar dan pedoman global mengenai pengertian,
pengaturan dan pelaporan dalam melaksanakan kegiatan pencegahan dan penerapan
aturan untuk menurunkan resiko.
2)
Merencanakan kebijakan upaya peningkatan pelayanan
pasien berbasis bukti dengan standar global, yang menitikberatkan terutama
dalam aspek produk yang aman dan praktek klinis yang aman sesuai dengan
pedoman, medical product dan medical devices yang aman digunakan serta
mengkreasi budaya keselamatan dan keamanan dalam pelayanan kesehatan dan
organisasi pendidikan.
3)
Mengembangkan mekanisme melalui akreditasi untuk
mengakui karateristik provider pelayanan kesehatan bahwa telah melewati
benchmark untuk unggulan dalam keselamatan dan keamanan pasien secara
internasional (patient safety internationally).
4)
Mendorong penelitian terkait dengan patient safety.
Keempat aspek diatas
sangat erat kaitannya dengan globalisasi bidang kesehatan yang menitikberatkan
akan "mutu".
Dalam
memberikan pelayanan medis yang berkualitas, para tenaga medis diharapkan dapat
:
1) Memberikan pelayanan
medik dengan standar yang tinggi.
2) Mempunyai sistem dan
proses untuk melakukan monitoring dan meningkatkan pelayanan:
a) Konsultasi yang
melibatkan pasien.
b) Manajemen resiko klinis.
c) Audit medis.
d) Riset dan efektivitas.
e) Pengorganisasian dan
manajemen staf medis.
f) Pendidikan, pelatihan
dan pengembangan profesi berkelanjutan (Continuing Professional
Development/CPD).
g) Memanfaatkan informasi
tentang pengalaman, proses dan outcome.
3) Secara efekif
melaksanakan clinical governance yaitu:
a) Adanya komitmen untuk
mutu.
b) Meningkatkan mutu pelayanan
dan asuhan pasien secara berkesinambungan.
c) Memberikan pelayanan
dengan pendekatan yang berfokus pada pasien.
d) Mencegah clinical
medical error.
2. Kepuasan
Pasien
Memahami kebutuhan dan
keinginan konsumen dalam hal ini pasien adalah hal penting yang mempengaruhi
kepuasan pasien. Pasien yang puas merupakan aset yang sangat berharga karena
apabila pasien puas mereka akan terus melakukan pemakaian terhadap jasa
pilihannya, tetapi jika pasien merasa tidak puas mereka akan memberitahukan dua
kali lebih hebat kepada orang lain tentang pengalaman buruknya. Untuk
menciptakan kepuasan pasien suatu perusahaan atau rumah sakit harus menciptakan
dan mengelola suatu system untuk memperoleh pasien yang lebih banyak dan
kemampuan untuk mempertahankan pasiennya. Namun upaya untuk perbaikan atau
kesempurnaan kepuasan dapat dilakukan dengan berbagai strategi oleh perusahaan
untuk dapat merebut pelanggan. Junaidi (2002) berpendapat bahwa kepuasan
konsumen atas suatu produk dengan kinerja yang dirasakan konsumen atas poduk
tersebut. Jika kinerja produk lebih tinggi dari harapan konsumen maka konsumen
akan mengalami kepuasan.
Hal yang hampir serupa
dikemukakan oleh Indarjati (2001) yang menyebutkan adanya tiga macam kondisi
kepuasan yang bisa dirasakan oleh konsumen berkaitan dengan perbandingan antara
harapan dan kenyataan, yaitu jika harapan atau kebutuhan sama dengan layanan
yang diberikan maka konsumen akan merasa puas. Jika layanan yang diberikan pada
konsumen kurang atau tidak sesuai dengan kebutuhan atau harapan konsumen maka
konsumen menjadi tidak puas. Kepuasan konsumen merupakan perbandingan antara
harapan yang dimiliki oleh konsumen dengan kenyataan yang diterima oleh
konsumen dengan kenyataan yang diterima oleh konsumen dengan kenyataan yang
diterima oleh konsumen pada saat mengkonsumsi produk atau jasa. Konsumen yang
mengalami kepuasan terhadap suatu produk atau jasa dapat dikategorikan ke dalam
konsumen masyarakat, konsumen instansi dan konsumen individu. Dalam penelitian
ini peneliti menitikberatkan pada kepuasan pasien. Pasien adalah orang yang
karena kelemahan fisik atau mentalnya menyerahkan pengawasan dan perawatannya,
menerima dan mengikuti pengobatan yang ditetapkan oleh tenaga kesehatan
(Prabowo, 1999). Sedangkan Aditama (2002) berpendapat bahwa pasien adalah
mereka yang di obati dirumah sakit.
Berdasarkan uraian dari
beberapa ahli tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan pasien
adalah perasaan senang, puas individu karena terpenuhinya harapan atau
keinginan dalam menerima jasa pelayanan kesehatan.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan pasien
Menurut pendapat
Budiastuti (2002) mengemukakan bahwa pasien dalam mengevaluasi kepuasan
terhadap jasa pelayanan yang diterima mengacu pada beberapa faktor, antara lain
:
1. Kualitas produk atau jasa
Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan
bahwa produk atau jasa yang digunakan berkualitas. Persepsi konsumen terhadap
kualitas poduk atau jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan kualitas
poduk atau jasa yang sesungguhnya dan komunikasi perusahaan terutama iklan
dalam mempromosikan rumah sakitnya.
2. Kualitas pelayanan
Memegang peranan penting dalam industri jasa. Pelanggan dalam hal
ini pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau
sesuai dengan yang diharapkan.
3.
Faktor emosional
Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum
terhadap konsumen bila dalam hal ini pasien memilih rumah sakit yang sudah
mempunyai pandangan “rumah sakit mahal”, cenderung memiliki tingkat kepuasan
yang lebih tinggi.
4.
Harga
Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien..
Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien..
5.
Biaya
Mendapatkan produk atau jasa, pasien yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan, cenderung puas terhadap jasa pelayanan tersebut.
Mendapatkan produk atau jasa, pasien yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan, cenderung puas terhadap jasa pelayanan tersebut.
Tjiptono (1997) kepuasan
pasien ditentukan oleh beberapa faktor antara lain, yaitu :
a. Kinerja (performance),
berpendapat pasien terhadap karakteristik operasi dari pelayanan inti yang
telah diterima sangat berpengaruh pada kepuasan yang dirasakan. Wujud dari
kinerja ini misalnya : kecepatan, kemudahan, dan kenyamanan bagaimana perawat
dalam memberikan jasa pengobatan terutama keperawatan pada waktu penyembuhan
yang relatif cepat, kemudahan dalam memenuhi kebutuhan pasien dan kenyamanan
yang diberikan yaitu dengan memperhatikan kebersihan, keramahan dan kelengkapan
peralatan rumah sakit.
b. Ciri-ciri atau
keistimewaan tambahan (features), merupakan karakteristik sekunder atau
karakteristik pelengkap yang dimiliki oleh jasa pelayanan, misalnya :
kelengkapan interior dan eksterior seperti televisi, AC, sound system, dan
sebagainya.
c. Keandalan (reliability), sejauhmana
kemungkinan kecil akan mengalami ketidakpuasan atau ketidaksesuaian dengan
harapan atas pelayanan yang diberikan. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan yang
dimiliki oleh perawat didalam memberikan jasa keperawatannya yaitu dengan kemampuan
dan pengalaman yang baik terhadap memberikan pelayanan keperawatan dirumah
sakit.
d. Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to
spesification), yaitu sejauh mana karakteristik pelayanan memenuhi
standart-standart yang telah ditetapkan sebelumnya. Misalnya : standar keamanan
dan emisi terpenuhi seperti peralatan pengobatan.
e. Daya tahan (durability),
berkaitan dengan beberapa lama produk tersebut digunakan. Dimensi ini mencakup
umur teknis maupun umur ekonomis dalam penggunaan peralatan rumah sakit, misalnya
: peralatan bedah, alat transportasi, dan sebagainya.
f. Service ability,
meliputi kecepatan, kompetensi, serta penanganan keluhan yang memuaskan.
Pelayanan yang diberikan oleh perawat dengan memberikan penanganan yang cepat
dan kompetensi yang tinggi terhadap keluhan pasien sewaktu-waktu.
g. Estetika, merupakan daya
tarik rumah sakit yang dapat ditangkap oleh panca indera. Misalnya : keramahan
perawat, peralatan rumah sakit yang lengkap dan modern, desain arsitektur rumah
sakit, dekorasi kamar, kenyamanan ruang tunggu, taman yang indah dan sejuk, dan
sebagainya.
h. Kualitas yang
dipersepsikan (perceived quality), citra dan reputasi rumah sakit serta
tanggung jawab rumah sakit. Bagaimana kesan yang diterima pasien terhadap rumah
sakit tersebut terhadap prestasi dan keunggulan rumah sakit daripada rumah
sakit lainnya dan tangggung jawab rumah sakit selama proses penyembuhan baik
dari pasien masuk sampai pasien keluar rumah sakit dalam keadaan sehat.
Sementara itu ahli lain Moison, Walter dan White (dalam Haryanti, 2000) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien, yaitu :
a. Karakteristik produk,
produk ini merupakan kepemilikan rumah sakit yang bersifat fisik antara lain
gedung dan dekorasi. Karakteristik produk rumah sakit meliputi penampilan
bangunan rumah sakit, kebersihan dan tipe kelas kamar yang disediakan beserta
kelengkapannya.
b. Harga, yang termasuk
didalamnya adalah harga produk atau jasa. Harga merupakan aspek penting, namun
yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien.
Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang
dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai
harapan yang lebih besar.
c. Pelayanan, yaitu
pelayanan keramahan petugas rumah sakit, kecepatan dalam pelayanan. Rumah sakit
dianggap baik apabila dalam memberikan pelayanan lebih memperhatikan kebutuhan
pasien maupun orang lain yang berkunjung di rumah sakit. kepuasan muncul dari
kesan pertama masuk pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan.
Misalnya : pelayanan yang cepat, tanggap dan keramahan dalam memberikan
pelayanan keperawatan.
d. Lokasi, meliputi letak
rumah sakit, letak kamar dan lingkungannya. Merupakan salah satu aspek yang
menentukan pertimbangan dalam memilih rumah sakit. Umumnya semakin dekat rumah
sakit dengan pusat perkotaan atau yang mudah dijangkau, mudahnya transportasi
dan lingkungan yang baik akan semakin menjadi pilihan bagi pasien yang membutuhkan
rumah sakit tersebut.
e. Fasilitas, kelengkapan
fasilitas rumah sakit turut menentukan penilaian kepuasan pasien, misalnya
fasilitas kesehatan baik sarana dan prasarana, tempat parkir, ruang tunggu yang
nyaman dan ruang kamar rawat inap. Walaupun hal ini tidak vital menentukan
penilaian kepuasan pasien, namun rumah sakit perlu memberikan perhatian pada
fasilitas rumah sakit dalam penyusunan strategi untuk menarik konsumen.
f. Image, yaitu citra,
reputasi dan kepedulian rumah sakit terhadap lingkungan. Image juga memegang
peranan penting terhadap kepuasan pasien dimana pasien memandang rumah sakit
mana yang akan dibutuhkan untuk proses penyembuhan. Pasien dalam
menginterpretasikan rumah sakit berawal dari cara pandang melalui panca indera
dari informasi-informasi yang didapatkan dan pengalaman baik dari orang lain
maupun diri sendiri sehingga menghasilkan anggapan yang positif terhadap rumah
sakit tersebut, meskipun dengan harga yang tinggi. Pasien akan tetap setia
menggunakan jasa rumah sakit tersebut dengan harapan-harapan yang diinginkan
pasien.
g. Desain visual, meliputi
dekorasi ruangan, bangunan dan desain jalan yang tidak rumit. Tata ruang dan
dekorasi rumah sakit ikut menentukan kenyamanan suatu rumah sakit, oleh karena
itu desain dan visual harus diikutsertakan dalam penyusunan strategi terhadap
kepuasan pasien atau konsumen.
h. Suasana, meliputi keamanan,
keakraban dan tata lampu. Suasana rumah sakit yang tenang, nyaman, sejuk dan
indah akan sangat mempengaruhi kepuasan pasien dalam proses penyembuhannya.
Selain itu tidak hanya bagi pasien saja yang menikmati itu akan tetapi orang
lain yang berkunjung ke rumah sakit akan sangat senang dan memberikan pendapat
yang positif sehingga akan terkesan bagi pengunjung rumah sakit tersebut.
i.
Komunikasi, yaitu tata cara informasi yang diberikan pihak
penyedia jasa dan keluhan-keluhan dari pasien. Bagaimana keluhan-keluhan dari
pasien dengan cepat diterima oleh penyedia jasa terutama perawat dalam
memberikan bantuan terhadap keluhan pasien. Misalnya adanya tombol panggilan
didalam ruang rawat inap, adanya ruang informasi yang memadai terhadap
informasi yang akan dibutuhkan pemakai jasa rumah sakit seperti keluarga pasien
maupun orang yang bekunjung di rumah sakit.
aka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor kepuasan pasien adalah : kualitas jasa, harga, emosional, kinerja, estetika, karakteristik produk, pelayanan, lokasi, fasilitas, komunikasi, suasana, dan desain visual .
aka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor kepuasan pasien adalah : kualitas jasa, harga, emosional, kinerja, estetika, karakteristik produk, pelayanan, lokasi, fasilitas, komunikasi, suasana, dan desain visual .
Aspek – aspek yang mempengaruhi kepuasan pasien
Menurut Griffith (1987)
ada beberapa aspek-aspek yang mempengaruhi perasaan puas pada seseorang yaitu :
a. Sikap pendekatan staf
pada pasien yaitu sikap staf terhadap pasien ketika pertama kali datang di
rumah sakit.
b. Kualitas perawatan yang
diterima oleh pasien yaitu apa saja yang telah dilakukan oleh pemberi layanan
kepada pasien, seberapa pelayanan perawatan yang berkaitan dengan proses
kesembuhan penyakit yang diderita pasien dan kelangsungan perawatan pasien
selama berada dirumah sakit.
c. Prosedur administrasi
yaitu berkaitan dengan pelayanan administrasi pasien dimulai masuk rumah sakit
selama perawatan berlangsung sampai keluar dari rumah sakit.
d. Waktu menunggu yaitu
berkaitan dengan waktu yang diperbolehkan untuk berkunjung maupun untuk menjaga
dari keluarga maupun orang lain dengan memperhatikan ruang tunggu yang memenuhi
standar-standar rumah sakit antara lain : ruang tunggu yang nyaman, tenang,
fasilitas yang memadai misalnya televisi, kursi, air minum dan sebagainya.
e. Fasilitas umum yang lain
seperti kualitas pelayanan berupa makanan dan minuman, privasi dan kunjungan.
Fasilitas ini berupa bagaimana pelayanan terhadap pemenuhan kebutuhan pasien seperti
makanan dan minuman yang disediakan dan privasi ruang tunggu sebagai sarana
bagi orang-orang yang berkunjung di rumah sakit.
f. Fasilitas ruang inap
untuk pasien yang harus rawat. Fasilitas ruang inap ini disediakan berdasarkan
permintaan pasien mengenai ruang rawat inap yang dikehendakinya.
g. Hasil treatment atau
hasil perawatan yang diterima oleh pasien yaitu perawatan yang berkaitan dengan
kesembuhan penyakit pasien baik berapa operasi, kunjungan dokter atau perawat.
ingkat kepuasan antar individu satu dengan individu lain berbeda. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh dari faktor jabatan, umur, kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pendidikan, jenis kelamin, sikap mental dan kepribadian (Sugiarto, 1999)
ingkat kepuasan antar individu satu dengan individu lain berbeda. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh dari faktor jabatan, umur, kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pendidikan, jenis kelamin, sikap mental dan kepribadian (Sugiarto, 1999)
Berdasarkan pandangan
beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang mempengaruhi
kepuasan pada pasien adalah sebagai berikut :
a.
Sikap pendekatan staf pada pasien yaitu sikap staf terhadap pasien
ketika pertama kali datang di rumah sakit.
b.
Kualitas perawatan yang diterima oleh pasien yaitu apa saja yang
telah dilakukan oleh pemberi layanan kepada pasien, seberapa pelayanan
perawatan yang berkaitan dengan proses kesembuhan penyakit yang diderita pasien
dan kelangsungan perawatan pasien selama berada dirumah sakit.
c.
Prosedur administrasi yaitu berkaitan dengan pelayanan
administrasi pasien dimulai masuk rumah sakit selama perawatan berlangsung sampai
keluar dari rumah sakit.
d.
Fasilitas – fasilitas yang disediakan rumah sakit yaitu fasilitas
ruang inap, kualitas makanan atau kios-kios penjual makanan yang terjamin
kesehatannya, privasi dan waktu kunjungan pasien.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Komunikasi verbal adalah bahasa – kata dengan aturan tata
bahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Komunikasi non verbal adalah
semua isyarat yang bukan kata-kata. Hubungan antara faktor sosial budaya dan
pelayanan kesehatan sangatlah penting untuk di pelajari khususnya bagi tenaga
kesehatan. Bila suatu informasi kesehatan yang baru akan di perkenalkan kepada
masyarakat haruslah di barengi dengan mengetahui terlebih dahulu tentang latar
belakang sosial budaya yang dianut di dalam masyarakat tersebut.
Dalam memberikan
pelayanan yang berkualitas bagi masyarakat, perlu adanya Standar Pelayanan
Rumah Sakit, yang berarti adalah penyelenggaraan pelayanan manajemen rumah
sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan keperawatan baik
rawat inap maupun rawat jalan yang minimal harus diselenggarakan oleh rumah
sakit. Semua
faktor kepuasan pada pasien pada hakikatnya sangat berkaitan dan ditentukan
oleh mutu kerja perawat, sehubungan dengan hal tersebut, pada dasarnya kepuasan
pasien dipengaruhi oleh faktor-faktor : teknologi, kemampuan kerja perawat,
kemauan perawat, dan lingkungan kerja perawat.
B. Saran
Sebagai
seorang calon tenaga kesehatan, kita harus memahami dan mempelajari budaya
setempat untuk meminimalkan kesalahan berkomunikasi. Selain itu, kita harus
memberikan standar pelayanan yang baik kepada pasien agar pasien merasa nyaman.
Pelayanan di rumah sakit haruslah diberikan sebaik dan seoptimal mungkin agar
mendapat kepuasan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Riswandi. 2009. Ilmu Komunikasi.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Cangara, Hafied. 2007. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta;
Raja Grafindo Persada
Mulyana, Deddy
dan Jalaludin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antar Budaya. Bandung:
Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar