Laman

Welcome to My Blog | RistaLikestar.blogspot.com | it's fun blog | Sharing | thank's for your visit |

Senin, 21 Maret 2016

KOMUNIKASI DAN BUDAYA KERJA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kita sering tidak menyadari pentingnya bahasa, karena kita sepanajang hidup menggunakannya. Kita baru sadar bahasa itu penting ketika kita menemui jalan buntu dalam menggunakan bahasa, misalnya ketika kita berupaya berkomunikasi dengan orang yang sama sekali tidak memahami bahasa kita yang membuat frustasi ; ketika kita sulit menerjamahkan suatu kata, frase atau kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain; ketika kita harus menulis lamaran atau diwawancarai dalam bahasa inggris untuk memperoleh pekerjaan yang bagus. Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang ,objek dan peristiwa. Setiap orang mempunyai nama untuk identifikasi sosial. Orang juga dapat menamai apa saja, objek-objek yang berlainan,termasuk perasaan tertentu yang mereka alami. Penanaman adalah dimensi pertama bahasa dan basis bahasa pada awalnya dilakukan manusia sesuaka mereka yang lalu menjadi konvensi(Aubrey Fisher dan Catherine Adam,1994). Suatu objek mempunyai beberapa tingkat abstraksi .ibu kita adalah ibu,ibu adalah wanita, wanita adalah manusia ,manusia adalah makhluk hidup dan makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan . semakin luas kelasnya, semakin abstrak konsep tersebut.sepanjang hidup kita sebenarnya belajar mengabstraksikan segala sesuatu.
Dalam kebanyakan peristiwa komunikasi yang berlangsung, hampir selalu melibatkan penggunaan lambang-lambang verbal dan non verbal secara bersama-sama. keduanya , bahasa verbal dan non verbal, memiliki sifat yang holistic( masing-masing tidak dapat dipisahkan). Dalam banyak tindakan komunikasi , bahasa non verbal menjadi komplemen atau pelengkap bahasa verbal. Lambang-lambang non verbal juga dapat berfungsi kontradiktif, pengulangan, bahkan pengganti ungkapan-ungkapan verbal, misalnya ketika seseorang mengatakan terima kasih( bahasa verbal) maka orang tersebut akan melengkapinya dengan tersenyum( bahasa non verbal), seseorang setuju dengan pesan yang disampaikan orang lain dengan anggukan kepala ( bahasa non verbal). Dua komunikasi tersebut merupakan contoh bahwa bahasa verbal dan non verbal bekerja bersama-sama dalam menciptakan makna suatu perilaku komunikasi.



B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan komunikasi verbal?
2.      Apa yang dimaksud dengan komunikasi non verbal?
3.      Bagaimana budaya kerja dalam pelayanan kesehatan?
4.      Bagaimana standar pelayanan dan kepuasan pasien?

C.     Tujuan
1.      Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang komunikasi verbal.
2.      Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang komunikasi non verbal.
3.      Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang budaya kerja dalam pelayanan kesehatan.
4.      Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang standar pelayanan dan kepuasan pasien.














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan simbol-simbol verbal, baik secara lisan maupun tertulis. Komunikasi verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan bicara yang kita sadari termasuk kedalam kategori  pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara verbal.
Secara etimologis, kata verbal berasal dari verb (bahasa Latin) yang berarti word (kata). Word merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, rhema, yang berarti ‘sesuatu’ yang digunakan untuk menggambarkan tindakan, eksistensi, kejadian, atau peristiwa, atau ‘sesuatu’ yang digunakan sebagai pembantu atau penghubung sebuah predikat. Kata ‘verbal’ sendiri berasal dari bahasa Latin, verbalis, verbum yang sering pula dimaksudkan dengan ‘berarti’ atau ‘bermakna melalui kata-kata’, atau yang berkaitan dengan ‘kata’ yang digunakan untuk menerangkan fakta, ide, atau tindakan yang lebih sering berbentuk percakapan lisan daripada tulisan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa komunikasi verbal adalah bahasa – kata dengan aturan tata bahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Dan hanya manusia yang dapat melambangkan keadaan dunia malalui bahasa.
Setiap kebudayaan menjadikan bahasa sebagai media untuk menyatakan prinsip-prinsip ajaran, nilai dan norma budaya kepada para pendukungnya.
1.      Hambatan - hambatan dalam interaksi bahasa verbal, yaitu :
a.       Polarisasi
Polarisasi adalah kecenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan menguraikanya dalam bentuk ekstrim – baik atau buruk, positif atau negative, sehat atau sakit, pandai atau bodoh. kita mempunyai kecenderungan kuat untuk hanya melihat titik-titik ekstrim dan mengelompokkan manusia, obyek, dan kejadian. Sementara itu banyak juga orang-orang berada pada titik tengah-tengah dari keekstriman tersebut. Seandainya komunikator maupun komunikan melihat seperti itu maka sudah dapat dipastikan di antara keduanya selalu akan terjadi sikap apriori. Padahal pada konteks tersebut dibutuhkan komunikator dan komunikan harus bersikap netral.
b.      Orientasi Intensional
Mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat manusia, obyek, dan kejadian sesuai dengan ciri yang melekat pada mereka. Misalnya, seorang presenter yang berbicara di layar tv, dan kebetulan wajah presenter tersebut kurang menarik, maka biasanya komunikan akan intensional menilainya sebagai tidak menarik sebelum mendengar apa yang dikatakannya. Orientasi intensional terjadi bila kita bertindak seakan-akan label adalah lebih penting daripada orangnya sendiri. Sebaliknya, orientasi ekstensional adalah kecenderungan untuk terlebih dahulu memandang manusia, obyek, dan kejadian dan baru setelah itu memerhatikan cirinya.
c.       Kekacauan karena keliru menyimpulkan fakta
Kita dapat membuat pernyataan tentang dunia yang kita amati, dan kita dapat membuat pernyataan tentang apa yang belum pernah kita lihat. Dari segi bentuk atau struktur, pernyataan-pernyataan ini sama saja, dan kita tidak dapat membedakan mereka dengan analisis gramatika. Sebagai contoh, kita dapat mengatakan, “Ia mengenakan jaket biru,” seperti juga kita dapat mengatakan “Ia melontarkan tatapan yang penuh kebencian”. Dari segi struktur, kedua kalimat ini serupa. Tetapi kita tahu bahwa keduanya merupakan jenis pernyataan yang sangat berbeda. Kita dapat melihat jaket dan warnanya yang biru, tetapi bagaimana kita melihat “tatapan yang penuh kebencian?” Jelas, ini bukanlah pernyataan deskriptif, melainkan pernyataan inferensial (penyimpulan). Ini adalah pernyataan yang dibuat berdasarkan bukan hanya pada apa yang kita lihat, melainkan juga pada apa yang kita simpulkan.
d.      Potong kompas
Potong kompas adalah pola kesalahan evaluasi di mana orang gagal mengkomunikasikan makna yang mereka maksudkan. William Haney (1973) mendefinisikan sebagai “pola salah komunikasi yang terjadi bila pengirim pesan dan penerima saling menyalah-artikan makna pesan mereka”. Asumsi yang mendasari potong kompas adalah bahwa kata-kata memiliki makna intrinsic. Kita secara keliru menganggap bahwa bila dua orang menggunakan kata yang sama, mereka memaksudkan hal yang sama pula, dan bila mereka menggunakan kata yang berbeda mereka memaksudkan hal yang berbeda. Tetapi, kata tidak mempunyai makna makna ada dalam diri manusia. Pasangan yang sedang jatuh cinta, mungkin mempunyai maksud yang berbeda. Yang seorang mungkin bermaksud menyatakan adanya komitmen yang langgeng dan eksklusif, sementara yang lain mungkin mengartikannya sebagai hubungan seksual.
e.       Kesemuan
Karena dunia ini sangat kompleks, kita tidak pernah bisa mengetahui semua hal atau mengatakan segalanya tentang sesuatu. Kita tidak pernah melihat sesuatu secara keseluruhan. Kita melihat bagian dari suatu obyek, kejadian, atau orang, dan atas dasar yang terbatas itu kemudian kita menyimpulkan bagaimana rupa keseluruhan. Tentu saja kita tidak mungkin membuat kesimpulan dengan bukti-bukti yang tidak memadai karena akan berdampak pada kekeliruan di masa datang.
f.       Evaluasi Statis
Bila kita membuat abstraksi (ringkasan) tentang sesuatu atau seseorang, atau kita merumuskan pernyataan verbal tentang suatu kejadian atau seseorang, pernyataan ringkas itu bersifat statis dan tidak berubah. Menurut persepsi kita, cara berkomunikasi dan materi komunikasi komunikator tersebut tidak baik sehingga kita membuat abstraksi tentang komunikator itu pun tidak baik. Evaluasi kita tentang komunikator tersebut bersifat statis tetap seperti itu dan tidak berubah. Akibatnya, mungkin selamanya kita tidak akan mau menonton atau mendengar komunikator tersebut berbicara. Sebuah kesalahan pada saat proses komunikasi tidak dapat di balik atau di kembalikan seperti semula dengan kata lain seperti yang dikatakan dalam prinsip komunikasi bersifat irreversible. Padahal, seharusnya kita menyadari bahwa obyek atau orang yang kita bicarakan itu dapat sangat berubah.
g.       Indiskriminasi
Indiskriminasi terjadi bila kita memusatkan perhatian pada sekelompok orang, benda, atau kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik atau khas dan perlu diamati secara individual. Indiskriminasi juga merupakan inti dari stereotip. Terlepas dari apakah stereotip itu positif atau negative, masalah yang ditimbulkannya tetap sama. Sikap ini sering membuat kita mengambil jalan pintas yang seringkali tidak tepat. Ketika kita bertemu dengan seseorang yang belum pernah kita kenal maka kita akan mengelompokannya ke dalam kategori-kategori tertentu, seperti; agama, ras, disiplin ilmu. Hal yang seringkali dilupakan bahwa mereka memiliki kekhasan tertentu yang membedakannya dengan manusia lain bukan selalu berdasarkan kategori-kategori tersebut. Misalnya, komunikator yang berasal dari suku Batak, maka komunikan memberikan gambaran komunikator tersebut berkarakter keras. Atau bila komunikator itu berasal dari disiplin ilmu hukum, komunikan memberikan gambaran komunikator bersifat kaku dan sangat detil. Pada akhirnya, apapun macam kategori yang digunakan oleh komunikan, komunikan lupa memberikan perhatian yang cukup terhadap karakteristik khas komunikator. Indiskriminasi merupakan pengingkaran dari kekhasan orang lain.
2.      Selain itu bahasa dalam proses komunikasi antar budayanya juga memiliki fungsi – fungsi sebagai berikut:
a.       Bahasa digunakan untuk menjelaskan dan membedakan sesuatu. Kata “Dhalem”  yang diucapkan oleh sungkono berbeda dengan kata “apa”. Tapi orang Indonesia pada umumnya tahu bahwa kata “dhalem” itu merujuk pada bahasa jawa.
b.      Bahasa berfungsi sebagai sarana interaksi sosial. Kita dalam berinteraksi harus tahu bahwa siapa lawan interaksi kita (komunikan), dari tingkatan mana yang artinya kita harus dapat tepat memilih menggunakan low contac atau high contac. Seperti ketika anda sedang bertugas memberikan penyuluhan tentang KB di daerah terpencil dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta ditambahkan dengan bahasa – bahsa kedokteran. Apa yang akan terjadi? Pesan yang anda ingin sampaikan tidak akan tersampaikan karena bahasa yang digunakan terlalu canggih.
c.       Bahasa berfungsi sebagai sarana pelepas tekanan dan emosi. Bila kita sedang merasakan kegembiraan, kesedihan, atau pun marah maka kata – kata yang diucapkan akan mengandung makna perasaan tersebut. Kata : aduh, hore, dan sebagainya adalah pelampiasan dari perasaan yang sedang kita alami.
d.      Bahasa sebagai sarana manipulatif. Bahasa digunakan untuk mengubah tingkah laku seseorang  yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindakan yang salah.



B.     Komunikasi Non Verbal
Menurut Edward Sapir, Komunikasi nonverbal adalah sebuah kode yang luas yang ditulis tidak di mana pun juga, diketahui oleh tidak seorang pun dan dimengerti oleh semua (an elaborate code that is written nowhere, known to none, and understood by all). Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya namun juga melalui perilaku non verbalnya. Pentingnya perilaku non verbal ini misalnya dilukiskan dalam frase, ”bukan apa yang ia katakan tapi bagaimana ia mengatakannya”. Lewat perilaku non verbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia bahagia, bingung atau sedih.
Secara sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1991), komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima, jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna pada orang lain.    
Dalam proses non verbal yang relevan dengan komunikasi antar budya terdapat tiga aspek yaitu; perilaku non verbal yang berfungsi sebagai bahasa diam, konsep waktu dan penggunaan dan pengaturan ruang. Sebenarnya sangat banyak aktivitas yang merupakan perilaku non verbal ini, akan tetapi yang berhubungan dengan komunikasi antar budaya ini biasanya adalah sentuhan. Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan bagaimana komunikasi non verbal merupakan suatu produk budaya. Di Jerman kaum wanita seperti juga kaum pria biasa berjabatan tangan dalam pergaulan sosial, di Amerika Serikat kaum wanita jarang berjabatan tangan. Di Muangthai, orang-orang tidak bersentuhan (berpegangan tangan dengan lawan jenis) di tempat umum, dan memegang kepala seseorang merupakan suatu pelanggaran sosial.
Dari penjelasan diatas tentang prilaku komunikasi nonverbal diatas dapat disimpulkan beberapa hal penting yang menjadi yang menjadi ciri dari pesan yang bersifat nonverbal.
1.      Ciri – ciri komunikasi non verbal perlu diketahui dan dipahami terutama dalam kaitanya dengan komunikasi antar budaya. Beberapa hal tersebut adalah:
a.       Suatu pesan nonverbal yang sama akan mempunyai makna berbeda diperlihatkan pada situasi dan kondisi yang berbeda pula. Misalnya mencubit bisa berarti ungkapan rasa sayang dan berarti pula bisa sebagai ungkapan kesal dalam situasi dan kondisi yang berbeda.
b.      Suatu pesan nonverbal yang sama dapat mempunyai pengertian yang berbeda pada suatu masyarakat atau bangsa yang satu dengan masyarakat dari bangsa yang lainnya. Contohnya, pada bangsa Indonesia menggelengkan kepala berarti menandakan “tidak”, sedangkan untuk bangsa India menggelengkan kepala berarti menandakan setuju “iya”.
c.       Pemahaman terhadap pesan nonverbal juga tergantung pada pesan verbal yang menyertainya. Jadi adakalanya suatu prilaku yang sama akan berbeda artinya jika pesan verbal yang dikatakanya berbeda. Misalnya, ketikan seseorang menggarukkan kepalanya disertai dengan kata “aduh gatal sekali kepala ini” berarti itu menandakan bahwa ia memang benar sedang merasakan kepalanya gatal. Akan tetapi jika disertai dengan “aduh apa ya, hmmm bingung” itu kan diartikan seperti ia sedang bingung.
d.      Dalam kegiatan komunikasi, pemahaman terhadap pesan nonverbal harus dilihat sebgai kesatuan dengan pemahaman terhadap pesan verbal yang disampaikan. Misalnya, jika seseorang mengungkapkan rasa bahagia, kita harus melihat apakah prilaku nonverbal yang diperlihatkanya mendukung pesan – pesan verbalnya atau tidak. Seperti, ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan lain – lainya.
e.       Pesan nonverbal dapat bermakna ganda biasanya bersifat bertentangan. Hal ini terjadi dalam pesan komunikasi ditemui adanya ketidak sesuaian antara pesan verbal dan pesan nonverbal. Misalnya, seseorang mengatkan bahwa dirinya sedang bahagia tetapi rasa bahagia itu tidak diekspresikan dengan prilaku nonverbal untuk mendukung apa yang dikatakan, seperti ekspresi wajah yang sendu atau gerakan tubuh yang lunglai. Ketika kita berada dalam posisi tersebut dan biasanya dalam kegiatan komunikasi, kita lebih percaya pada prilaku nonverbal yang diperlihatkan oleh lawan bicara kita.
f.       Pesan nonverbal diekspresikan secara bersama – sama oleh seluruh tubuh manusia untuk mengkomunikasikan pesan – pesan tertentu. Misalnya, rasa bahagia tidak hanya diungkapkan oleh ekspresi wajah saja tetapi juga dengan sorotan mata, gerakan tangan, dan sikap tubuh, jadi pemahaman prilaku nonverbal harus dilihat secara menyeluruh.
g.      Pemberian makna terhadap suatu pesan nonverbal didasarkan pada nilai atau norma yang berlaku pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Misalnya di Indonesia memegang kepala anak berarti sebagai tanda menyayanginya, sebaliknya di Muangthai itu dianggap sebagai pelanggaran sosial.

2.      Dalam proses komunikasinya, komunikasi non verbal dapat menjalankan sejumlah fungsi penting, yakni :
a.       Repetisi atau mengulangi prilaku verbal
Perilaku nonverbal dapat mengulangi apa yang telah disampaikan dalam pesan verbal. Perilaku nonverbal di sini berfungsi untuk memperkuat pemaknaan dari pesan verbal. Misalnya, kepala digelengkan ketika mengatakan ”tidak” atau menganggukkan kepala berbarengan dengan mengatakan “iya”.
b.      Memperteguh, menekankan atau melengkapi prilaku verbal
Kita menggunakan komunikasi nonverbal untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal, serta juga menggunakan nya untuk memperkuat warna atau pelengkap yang sudah dinyatakan oleh pesan verbal. Misalnya, ketika kita mendeskripsikan tinggi maka tangan kita di gerakan dengan mengangkat tangan kira-kira setinggi yang maksudkan. Atau saat kita berpidato melakukkan geraka – gerakan tangan serta bahasa tubuh lainya.
c.       Nonverbal dapat menggantikan prilaku verbal.
Menggoyangkan tangan dengan telapak tangan menghadap ke depan (sebagai pengganti kata “tidak”). Atau menunjuk dengan jari telunjuk ke arah ruang depan untuk menjawab pertanyaan  dari seorang yang bertanya “dimana si Ali?”.
d.      Regulasi (mengatur) prilaku verbal
Ketika kita berada didalam ruang kuliah lalu anda mengenakan jaket, membereskan buku, dan melihat jam tangan anda ketika waktu kuliah hampir habis, sehingga doesen segera menutup kuliahnya.
e.       Membantah atau kontradiksi dengan prilaku verbal.
Saat istri menanyakan komentar mengenai baju baru yang dibelinya ke pada suami dan si suami mengatakan “bagus!. Bagus!” tetapi seraya membaca koran. Adakalanya seseorang mengatakan suatu pesan verbal tertentu, tetapi tidak diikuti oleh perilaku nonverbal yang mendukung pesan verbalnya.

C.     Budaya Kerja Dalam Pelayanan Kesehatan
Masyarakat semakin menuntut pelayanan yang bermutu dan kadang-kadang canggih. Rumah sakit sebagai mata rantai pelayanan kesehatan mempunyai fungsi utama penyembuhan dan pemulihan. Rumah sakit ini bersama dengan puskesmas melalui jalur rujukan diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan paripuma bagi masyarakat. Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan maka fungsi pelayanan rumah sakit secara bertahap perlu ditingkatkan agar menjadi lebih efisien, sehingga dapat menampung rujukan dari puskesmas dan sarana kesehatan lainnya.
Di beberapa rumah sakit, suatu rencana strategik (renstra) yang telah berhasil disusun oleh suatu tim khusus dan disahkan oleh pimpinan tidak berjalan mulus dalam penerapannya. Sebab hal itu terjadi karena ternyata tidak didukung oleh komitmen karyawan terhadap nilai-nilai dan keyakinan dasar. Untuk membangun komitmen tinggi itulah diperlukan dukungan suatu kultur atau budaya organisasi rumah sakit yang positif.
Pelayanan kesehatan yang baik merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Semua orang ingin dilayani dan mendapatkan kedudukan yang sama dalam pelayanan kesehatan. Dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 dan Pasal 34 menyatakan negara menjamin setiap warga negara mendapatkan hidup sejahtera, tempat tinggal, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia, namun sering terjadi dikotomi dalam upaya pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan yang baik hanya diberikan bagi kalangan masyarakat yang mampu sedangkan masyarakat yang kurang mampu tidak mendapatkan perlakuan yang adil dan proporsional.
Pelayanan kesehatan saat ini memiliki paradigma baru yaitu menempatkan pasien sebagai pelanggan dan menjadi fokus pelayanan, yang berarti kepuasan, keselamatan dan kenyamanan merupakan hal utama bagi pasien. Harapan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan mencakup pelayanan yang indikatif dan bermutu,
Kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan social yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara social dan ekonomi. (UU Kesehatan No.23 tahun 1992 dalam bukunya Soekidjo Notoatmodjo, 2007 :3).Hal tersebut berarti bahwa kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental dan social saja, tetapi juga diukur dari produktifitasnya.
Dalam rangka untuk mewujudkan kesehatan dilakukan upaya kesehatan, yaitu setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat (Soekidjo Notoatmodjo, 2007 : 8). Upaya mewujudkan kesehatan dilihat dari dua aspek yaitu pemeliharaan kesehatan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan mencakup dua aspek yaitu aspek kuratif dan rehabilitative sedangkan peningkatan kesehatan mencakup dua aspek juga yaitu aspek preventif dan promotif. Hal tersebut dapat diartikan bahwa upaya untuk mewujudkan kesehatan dilakukan secara komprehensif, oleh sebab itu upaya kesehatan promotif mengandung makna bahwa kesehatan seseorang, kelompok, atau individu harus selalu diupayakan sampai tingkat yang optimal.
Hubungan Kebudayaan dengan Pelayanan Kesehatan :
Menjadi sakit memang tidak diharapkan oleh semua orang apalagi penyakit-penyakit yang berat dan fatal. Masih banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana penyakit itu dapat menyerang seseorang. Ini dapat dilihat dari sikap merka terhadap penyakit tersebut.
Ada kebiasaan dimana setiap orang sakit diisolasi dan dibiarkan saja. Kebiasaan ini ini mungkin dapat mencegah penularan dari penyakit-penyakit infeksi seperti cacar dan TBC.
Bentuk pengobatan yang di berikan biasanya hanya berdasarkan anggapan mereka sendiri tentang bagaimana penyakit itu timbul. Kalau mereka menganggap penyakit itu disebabkan oleh hal-hal yang supernatural atau magis, maka digunakan pengobatan secara tradisional. Pengobatan modern dipilih bila meraka duga penyebabnya adalah fator ilmiah. Ini dapat merupakan sumber konflik bagi tenaga kesehatan, bila ternyata pengobatan yang mereka pilih berlawanan dengan pemikiran secara medis.
Bila suatu bentuk pelayanan kesehatan baru di perkenalkan kedalam suatu masyarakat dimana faktor-faktor budaya masih kuat. Biasanya dengan segera mereka akan menolak dan memilih cara pengobatan tradisional sendiri. Apakah mereka akan memilih cara baru atau lama, akan memberi petunjuk kepada kita akan kepercayaan dan harapan pokok mereka lambat laun akan sadar apakah pengobatan baru tersebut berbeda , sama sekali tidak berguna, atau lambat memberi pegaruh. Namun mereka lebih menyukai pengobatan tradisional karena berhubungan erat dengan dasar hidup mereka. Maka cara baru itu akan dipergunakan secara sangat terbatas, atau untuk kasus-kasus tertentu saja.
Pelayanan kesehatan yang moderen oleh sebab itu harus disesuaikan dengan kebudayaan setempat, akan sia-sia jika ingin memaksakan sekaligus cara-cara moderen dan menyapu semua cara-cara tradisional. Bila tenaga kesehatan berasal dari lain suku atau bangsa, sering mereka merasa asing dengna penduduk setempat . ini tidak aan terjadi jika tenaga kesehatan tersebut berusaha mempelajari kebudayaan mereka dan menjembatani jarak yang ada diantara mereka. Dengan sikap yang tidak simpatik serta tangan besi, maka jarak tersebut akan semakin lebar. Setiap masyarakat mempunyai cara pengobatan dan kebiasaan yang berhubungan dengan ksehatan masing-masing. Sedikit usaha untuk mempelajari kebudayaan mereka akan mempermudah memberikan gagasan yang baru yang sebelumnya tidak mereka terima.
Pemuka-pemuka didalam masyarakat itu harus di yakinkan sehingga mereka dapat memberikan dukungan dan yakin bahwa cara-cara baru tersebut bukan untuk melunturkan kekuasaan mereka  tetapi sebaliknya akan memberika manfaat yang lebih besar.pilihan pengobatan dapat menimbulkan kesulitan. Misalnya bila pengobatan tradisional biasanya mengunakan cara-cara menyakitkan seperti mengiris-iris bagian tubuh atau dengan memanasi penderita,akan tidak puas hanya dengan memberikan pil untuk diminum. Hal tersebut diatas bisa menjadi suatu penghalang dalam memberikan pelayanan kesehatan, tapi dengan berjalannya waktu mereka akan berfikir dan menerima.
Hubungan antara faktor sosial budaya dan pelayanan kesehatan sangatlah penting untuk di pelajari khususnya bagi tenaga kesehatan. Bila suatu informasi kesehatan yang baru akan di perkenalkan kepada masyarakat haruslah di barengi dengan mengetahui terlebih dahulu tentang latar belakang sosial budaya yang dianut di dalam masyarakat tersebut.
Kebudayaan yang dianut oleh masyarakat tertentu tidaklah kaku dan bisa untuk di rubah, tantangannya adalah mampukah tenaga kesehatan memberikan penjelasan dan informasi yang rinci tentang pelayanan kesehatan yang akan di berikan kepada masyarakat. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, mulai  dari perkenalan program kerja, menghubungi tokoh-tokoh masyarakat maupun melakukan pendekatan secara personal.




D.    Standar Pelayanan dan Kepuasan Pasien
1.      Standar Pelayanan Rumah Sakit
Dalam memberikan pelayanan yang berkualitas bagi masyarakat, perlu adanya Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang berarti adalah penyelenggaraan pelayanan manajemen rumah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan keperawatan baik rawat inap maupun rawat jalan yang minimal harus diselenggarakan oleh rumah sakit.
Tugas rumah sakit secara umum adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilaksanakan secara serasi, terpadu dengan upaya peningkatan serta pencegahan dan pelaksanaan upaya rujukan.
a.       Berikut merupakan tugas sekaligus fungsi dari rumah sakit secara lengkap, yaitu:


1.      Pelayanan gawat darurat
2.      Pelayanan rawat jalan
3.      Pelayanan rawat inap
4.      Pelayanan bedah
5.      Pelayanan persalinan dan perinatologi
6.      Pelayanan intensif
7.      Pelayanan radiologi
8.      Pelayanan laboratorium patologi klinik
9.      Pelayanan rehabilitasi medik
10.  Pelayanan farmasi
11.  Pelayanan gizi
12.  Pelayanan
13.  Pelayanan keluarga miskin
14.  Pelayanan rekam medis
15.  Pengelolaan limbah
16.  Pelayanan administrasi manajemen
17.  Pelayanan ambulans/kereta jenazah
18.  Pelayanan pemulasaraan jenazah
19.  Pelayanan laundry
20.  Pelayanan pemeliharaan sarana rumah sakit
21.  Pencegah Pengendalian Infeksi.



Penerapan patient safety sangat penting untuk meningkatkan mutu rumah sakit dalam rangka globalisasi. Dengan adanya program keselamatan dan keamanan pasien (patient safety), diharapkan rumah sakit bertanggung jawab untuk meningkatkan mutu pelayanan dengan standar yang tinggi sesuai dengan kondisi rumah sakit sehingga terwujudnya pelayanan medik prima di rumah sakit. Dalam World Health Assembly pada tanggal 18 Januari 2002, WHO Excecutive Board yang terdiri dari 32 wakil dari 191 negara anggota telah mengeluarkan suatu resolusi yang disponsori oleh, pemerintah Inggris, Belgia, Italia dan Jepang untuk membentuk program patient safety yang terdiri dari 4 aspek utama yakni :
1)      Penetapan norma, standar dan pedoman global mengenai pengertian, pengaturan dan pelaporan dalam melaksanakan kegiatan pencegahan dan penerapan aturan untuk menurunkan resiko.
2)      Merencanakan kebijakan upaya peningkatan pelayanan pasien berbasis bukti dengan standar global, yang menitikberatkan terutama dalam aspek produk yang aman dan praktek klinis yang aman sesuai dengan pedoman, medical product dan medical devices yang aman digunakan serta mengkreasi budaya keselamatan dan keamanan dalam pelayanan kesehatan dan organisasi pendidikan.
3)      Mengembangkan mekanisme melalui akreditasi untuk mengakui karateristik provider pelayanan kesehatan bahwa telah melewati benchmark untuk unggulan dalam keselamatan dan keamanan pasien secara internasional (patient safety internationally).
4)      Mendorong penelitian terkait dengan patient safety.
Keempat aspek diatas sangat erat kaitannya dengan globalisasi bidang kesehatan yang menitikberatkan akan "mutu".

Dalam memberikan pelayanan medis yang berkualitas, para tenaga medis diharapkan dapat :
1)      Memberikan pelayanan medik dengan standar yang tinggi.
2)      Mempunyai sistem dan proses untuk melakukan monitoring dan meningkatkan pelayanan:
a)      Konsultasi yang melibatkan pasien.
b)      Manajemen resiko klinis.
c)      Audit medis.
d)     Riset dan efektivitas.
e)      Pengorganisasian dan manajemen staf medis.
f)       Pendidikan, pelatihan dan pengembangan profesi berkelanjutan (Continuing Professional Development/CPD).
g)      Memanfaatkan informasi tentang pengalaman, proses dan outcome.
3)      Secara efekif melaksanakan clinical governance yaitu:
a)      Adanya komitmen untuk mutu.
b)      Meningkatkan mutu pelayanan dan asuhan pasien secara berkesinambungan.
c)      Memberikan pelayanan dengan pendekatan yang berfokus pada pasien.
d)     Mencegah clinical medical error.

2.      Kepuasan Pasien
Memahami kebutuhan dan keinginan konsumen dalam hal ini pasien adalah hal penting yang mempengaruhi kepuasan pasien. Pasien yang puas merupakan aset yang sangat berharga karena apabila pasien puas mereka akan terus melakukan pemakaian terhadap jasa pilihannya, tetapi jika pasien merasa tidak puas mereka akan memberitahukan dua kali lebih hebat kepada orang lain tentang pengalaman buruknya. Untuk menciptakan kepuasan pasien suatu perusahaan atau rumah sakit harus menciptakan dan mengelola suatu system untuk memperoleh pasien yang lebih banyak dan kemampuan untuk mempertahankan pasiennya. Namun upaya untuk perbaikan atau kesempurnaan kepuasan dapat dilakukan dengan berbagai strategi oleh perusahaan untuk dapat merebut pelanggan. Junaidi (2002) berpendapat bahwa kepuasan konsumen atas suatu produk dengan kinerja yang dirasakan konsumen atas poduk tersebut. Jika kinerja produk lebih tinggi dari harapan konsumen maka konsumen akan mengalami kepuasan.
Hal yang hampir serupa dikemukakan oleh Indarjati (2001) yang menyebutkan adanya tiga macam kondisi kepuasan yang bisa dirasakan oleh konsumen berkaitan dengan perbandingan antara harapan dan kenyataan, yaitu jika harapan atau kebutuhan sama dengan layanan yang diberikan maka konsumen akan merasa puas. Jika layanan yang diberikan pada konsumen kurang atau tidak sesuai dengan kebutuhan atau harapan konsumen maka konsumen menjadi tidak puas. Kepuasan konsumen merupakan perbandingan antara harapan yang dimiliki oleh konsumen dengan kenyataan yang diterima oleh konsumen dengan kenyataan yang diterima oleh konsumen dengan kenyataan yang diterima oleh konsumen pada saat mengkonsumsi produk atau jasa. Konsumen yang mengalami kepuasan terhadap suatu produk atau jasa dapat dikategorikan ke dalam konsumen masyarakat, konsumen instansi dan konsumen individu. Dalam penelitian ini peneliti menitikberatkan pada kepuasan pasien. Pasien adalah orang yang karena kelemahan fisik atau mentalnya menyerahkan pengawasan dan perawatannya, menerima dan mengikuti pengobatan yang ditetapkan oleh tenaga kesehatan (Prabowo, 1999). Sedangkan Aditama (2002) berpendapat bahwa pasien adalah mereka yang di obati dirumah sakit.
Berdasarkan uraian dari beberapa ahli tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan pasien adalah perasaan senang, puas individu karena terpenuhinya harapan atau keinginan dalam menerima jasa pelayanan kesehatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien
Menurut pendapat Budiastuti (2002) mengemukakan bahwa pasien dalam mengevaluasi kepuasan terhadap jasa pelayanan yang diterima mengacu pada beberapa faktor, antara lain :
1.      Kualitas produk atau jasa
Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk atau jasa yang digunakan berkualitas. Persepsi konsumen terhadap kualitas poduk atau jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan kualitas poduk atau jasa yang sesungguhnya dan komunikasi perusahaan terutama iklan dalam mempromosikan rumah sakitnya.
2.      Kualitas pelayanan
Memegang peranan penting dalam industri jasa. Pelanggan dalam hal ini pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkan.
3.      Faktor emosional
Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum terhadap konsumen bila dalam hal ini pasien memilih rumah sakit yang sudah mempunyai pandangan “rumah sakit mahal”, cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi.
4.      Harga
Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien..
5.       Biaya
Mendapatkan produk atau jasa, pasien yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan, cenderung puas terhadap jasa pelayanan tersebut.

Tjiptono (1997) kepuasan pasien ditentukan oleh beberapa faktor antara lain, yaitu :
a.       Kinerja (performance), berpendapat pasien terhadap karakteristik operasi dari pelayanan inti yang telah diterima sangat berpengaruh pada kepuasan yang dirasakan. Wujud dari kinerja ini misalnya : kecepatan, kemudahan, dan kenyamanan bagaimana perawat dalam memberikan jasa pengobatan terutama keperawatan pada waktu penyembuhan yang relatif cepat, kemudahan dalam memenuhi kebutuhan pasien dan kenyamanan yang diberikan yaitu dengan memperhatikan kebersihan, keramahan dan kelengkapan peralatan rumah sakit.
b.      Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features), merupakan karakteristik sekunder atau karakteristik pelengkap yang dimiliki oleh jasa pelayanan, misalnya : kelengkapan interior dan eksterior seperti televisi, AC, sound system, dan sebagainya.
c.        Keandalan (reliability), sejauhmana kemungkinan kecil akan mengalami ketidakpuasan atau ketidaksesuaian dengan harapan atas pelayanan yang diberikan. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan yang dimiliki oleh perawat didalam memberikan jasa keperawatannya yaitu dengan kemampuan dan pengalaman yang baik terhadap memberikan pelayanan keperawatan dirumah sakit.
d.       Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to spesification), yaitu sejauh mana karakteristik pelayanan memenuhi standart-standart yang telah ditetapkan sebelumnya. Misalnya : standar keamanan dan emisi terpenuhi seperti peralatan pengobatan.
e.       Daya tahan (durability), berkaitan dengan beberapa lama produk tersebut digunakan. Dimensi ini mencakup umur teknis maupun umur ekonomis dalam penggunaan peralatan rumah sakit, misalnya : peralatan bedah, alat transportasi, dan sebagainya.
f.       Service ability, meliputi kecepatan, kompetensi, serta penanganan keluhan yang memuaskan. Pelayanan yang diberikan oleh perawat dengan memberikan penanganan yang cepat dan kompetensi yang tinggi terhadap keluhan pasien sewaktu-waktu.
g.      Estetika, merupakan daya tarik rumah sakit yang dapat ditangkap oleh panca indera. Misalnya : keramahan perawat, peralatan rumah sakit yang lengkap dan modern, desain arsitektur rumah sakit, dekorasi kamar, kenyamanan ruang tunggu, taman yang indah dan sejuk, dan sebagainya.
h.      Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), citra dan reputasi rumah sakit serta tanggung jawab rumah sakit. Bagaimana kesan yang diterima pasien terhadap rumah sakit tersebut terhadap prestasi dan keunggulan rumah sakit daripada rumah sakit lainnya dan tangggung jawab rumah sakit selama proses penyembuhan baik dari pasien masuk sampai pasien keluar rumah sakit dalam keadaan sehat.

Sementara itu ahli lain Moison, Walter dan White (dalam Haryanti, 2000) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien, yaitu :
a.       Karakteristik produk, produk ini merupakan kepemilikan rumah sakit yang bersifat fisik antara lain gedung dan dekorasi. Karakteristik produk rumah sakit meliputi penampilan bangunan rumah sakit, kebersihan dan tipe kelas kamar yang disediakan beserta kelengkapannya.
b.      Harga, yang termasuk didalamnya adalah harga produk atau jasa. Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar.
c.       Pelayanan, yaitu pelayanan keramahan petugas rumah sakit, kecepatan dalam pelayanan. Rumah sakit dianggap baik apabila dalam memberikan pelayanan lebih memperhatikan kebutuhan pasien maupun orang lain yang berkunjung di rumah sakit. kepuasan muncul dari kesan pertama masuk pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan. Misalnya : pelayanan yang cepat, tanggap dan keramahan dalam memberikan pelayanan keperawatan.
d.      Lokasi, meliputi letak rumah sakit, letak kamar dan lingkungannya. Merupakan salah satu aspek yang menentukan pertimbangan dalam memilih rumah sakit. Umumnya semakin dekat rumah sakit dengan pusat perkotaan atau yang mudah dijangkau, mudahnya transportasi dan lingkungan yang baik akan semakin menjadi pilihan bagi pasien yang membutuhkan rumah sakit tersebut.
e.       Fasilitas, kelengkapan fasilitas rumah sakit turut menentukan penilaian kepuasan pasien, misalnya fasilitas kesehatan baik sarana dan prasarana, tempat parkir, ruang tunggu yang nyaman dan ruang kamar rawat inap. Walaupun hal ini tidak vital menentukan penilaian kepuasan pasien, namun rumah sakit perlu memberikan perhatian pada fasilitas rumah sakit dalam penyusunan strategi untuk menarik konsumen.
f.       Image, yaitu citra, reputasi dan kepedulian rumah sakit terhadap lingkungan. Image juga memegang peranan penting terhadap kepuasan pasien dimana pasien memandang rumah sakit mana yang akan dibutuhkan untuk proses penyembuhan. Pasien dalam menginterpretasikan rumah sakit berawal dari cara pandang melalui panca indera dari informasi-informasi yang didapatkan dan pengalaman baik dari orang lain maupun diri sendiri sehingga menghasilkan anggapan yang positif terhadap rumah sakit tersebut, meskipun dengan harga yang tinggi. Pasien akan tetap setia menggunakan jasa rumah sakit tersebut dengan harapan-harapan yang diinginkan pasien.
g.      Desain visual, meliputi dekorasi ruangan, bangunan dan desain jalan yang tidak rumit. Tata ruang dan dekorasi rumah sakit ikut menentukan kenyamanan suatu rumah sakit, oleh karena itu desain dan visual harus diikutsertakan dalam penyusunan strategi terhadap kepuasan pasien atau konsumen.
h.      Suasana, meliputi keamanan, keakraban dan tata lampu. Suasana rumah sakit yang tenang, nyaman, sejuk dan indah akan sangat mempengaruhi kepuasan pasien dalam proses penyembuhannya. Selain itu tidak hanya bagi pasien saja yang menikmati itu akan tetapi orang lain yang berkunjung ke rumah sakit akan sangat senang dan memberikan pendapat yang positif sehingga akan terkesan bagi pengunjung rumah sakit tersebut.
i.        Komunikasi, yaitu tata cara informasi yang diberikan pihak penyedia jasa dan keluhan-keluhan dari pasien. Bagaimana keluhan-keluhan dari pasien dengan cepat diterima oleh penyedia jasa terutama perawat dalam memberikan bantuan terhadap keluhan pasien. Misalnya adanya tombol panggilan didalam ruang rawat inap, adanya ruang informasi yang memadai terhadap informasi yang akan dibutuhkan pemakai jasa rumah sakit seperti keluarga pasien maupun orang yang bekunjung di rumah sakit.
aka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor kepuasan pasien adalah : kualitas jasa, harga, emosional, kinerja, estetika, karakteristik produk, pelayanan, lokasi, fasilitas, komunikasi, suasana, dan desain visual .


Aspek – aspek yang mempengaruhi kepuasan pasien
Menurut Griffith (1987) ada beberapa aspek-aspek yang mempengaruhi perasaan puas pada seseorang yaitu :
a.       Sikap pendekatan staf pada pasien yaitu sikap staf terhadap pasien ketika pertama kali datang di rumah sakit.
b.      Kualitas perawatan yang diterima oleh pasien yaitu apa saja yang telah dilakukan oleh pemberi layanan kepada pasien, seberapa pelayanan perawatan yang berkaitan dengan proses kesembuhan penyakit yang diderita pasien dan kelangsungan perawatan pasien selama berada dirumah sakit.
c.       Prosedur administrasi yaitu berkaitan dengan pelayanan administrasi pasien dimulai masuk rumah sakit selama perawatan berlangsung sampai keluar dari rumah sakit.
d.      Waktu menunggu yaitu berkaitan dengan waktu yang diperbolehkan untuk berkunjung maupun untuk menjaga dari keluarga maupun orang lain dengan memperhatikan ruang tunggu yang memenuhi standar-standar rumah sakit antara lain : ruang tunggu yang nyaman, tenang, fasilitas yang memadai misalnya televisi, kursi, air minum dan sebagainya.
e.       Fasilitas umum yang lain seperti kualitas pelayanan berupa makanan dan minuman, privasi dan kunjungan. Fasilitas ini berupa bagaimana pelayanan terhadap pemenuhan kebutuhan pasien seperti makanan dan minuman yang disediakan dan privasi ruang tunggu sebagai sarana bagi orang-orang yang berkunjung di rumah sakit.
f.       Fasilitas ruang inap untuk pasien yang harus rawat. Fasilitas ruang inap ini disediakan berdasarkan permintaan pasien mengenai ruang rawat inap yang dikehendakinya.
g.      Hasil treatment atau hasil perawatan yang diterima oleh pasien yaitu perawatan yang berkaitan dengan kesembuhan penyakit pasien baik berapa operasi, kunjungan dokter atau perawat.
ingkat kepuasan antar individu satu dengan individu lain berbeda. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh dari faktor jabatan, umur, kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pendidikan, jenis kelamin, sikap mental dan kepribadian (Sugiarto, 1999)

Berdasarkan pandangan beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang mempengaruhi kepuasan pada pasien adalah sebagai berikut :
a.       Sikap pendekatan staf pada pasien yaitu sikap staf terhadap pasien ketika pertama kali datang di rumah sakit.
b.      Kualitas perawatan yang diterima oleh pasien yaitu apa saja yang telah dilakukan oleh pemberi layanan kepada pasien, seberapa pelayanan perawatan yang berkaitan dengan proses kesembuhan penyakit yang diderita pasien dan kelangsungan perawatan pasien selama berada dirumah sakit.
c.       Prosedur administrasi yaitu berkaitan dengan pelayanan administrasi pasien dimulai masuk rumah sakit selama perawatan berlangsung sampai keluar dari rumah sakit.
d.      Fasilitas – fasilitas yang disediakan rumah sakit yaitu fasilitas ruang inap, kualitas makanan atau kios-kios penjual makanan yang terjamin kesehatannya, privasi dan waktu kunjungan pasien.





















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Komunikasi verbal adalah bahasa – kata dengan aturan tata bahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Komunikasi non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Hubungan antara faktor sosial budaya dan pelayanan kesehatan sangatlah penting untuk di pelajari khususnya bagi tenaga kesehatan. Bila suatu informasi kesehatan yang baru akan di perkenalkan kepada masyarakat haruslah di barengi dengan mengetahui terlebih dahulu tentang latar belakang sosial budaya yang dianut di dalam masyarakat tersebut.
Dalam memberikan pelayanan yang berkualitas bagi masyarakat, perlu adanya Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang berarti adalah penyelenggaraan pelayanan manajemen rumah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan keperawatan baik rawat inap maupun rawat jalan yang minimal harus diselenggarakan oleh rumah sakit. Semua faktor kepuasan pada pasien pada hakikatnya sangat berkaitan dan ditentukan oleh mutu kerja perawat, sehubungan dengan hal tersebut, pada dasarnya kepuasan pasien dipengaruhi oleh faktor-faktor : teknologi, kemampuan kerja perawat, kemauan perawat, dan lingkungan kerja perawat.

B.     Saran
Sebagai seorang calon tenaga kesehatan, kita harus memahami dan mempelajari budaya setempat untuk meminimalkan kesalahan berkomunikasi. Selain itu, kita harus memberikan standar pelayanan yang baik kepada pasien agar pasien merasa nyaman. Pelayanan di rumah sakit haruslah diberikan sebaik dan seoptimal mungkin agar mendapat kepuasan pasien.






DAFTAR PUSTAKA

Riswandi. 2009. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Cangara, Hafied. 2007. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta; Raja Grafindo Persada
Mulyana, Deddy dan Jalaludin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Rosdakarya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar