BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Inkontinensia urine
merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi
di luar keinginan. Jika inkontinensia urine terjadi akibat kelainan inflamasi,
mungkin sifatnya hanya sementaraSeiring dengan bertambahnya usia,
ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain:
melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan
yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan
air seni. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30%
usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah
sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat
inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Masalah inkontinensia urin ini angka
kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada
yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot
dan fasia di dasar panggul.
Biaya
perawatan bagi pasien inkontinensia urine diperkirakan lebih dari 10, 3 milyar
per tahunnya (AHCPR,1992) Biaya psikososial dari Inkontinensia urine sangat
besar, yaitu perasaan malu, kehilangan kepercayaan diri dan isolasi sosial
merupakan hasil yang umumnya terjadi Inkontinensia urine pada lansia sering
menyebabkan perlunya perawatan dala lembaga perawatan. Dalam makalah ini akan
dijelaskan tentang apa itu inkontinensia urine dan cara pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien dengan Inkontinensia urine.
B. Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang di atas, masalah yang
dapat kami kaji dalam makalah ini diantaranya:
1. Bagaimana
konsep dasar inkontinensia urine?
2. Bagaimana
asuhan keperawatan inkontinensia urine?
Dalam
pembuatan tugas ini, adapun tujuan yang hendak dicapai penulis yaitu:
1. Untuk
mengetahui konsep dasar inkontinensia urine?
2. Untuk
mengetahui asuhan keperawatan inkontinensia urine ?
Metode
yang kami gunakan dalam menulis makalah ini, yaitu :
1. Metode
Kepustakaan
Adalah
metode pengumpulan data yang digunakan penulis dengan mempergunakan buku atau
refrensi yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas
2. Metode
Media Informatika
Adalah
metode dengan mencari data melalui situs-situs di internet
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
KONSEP
DASAR TEORI
1.
Definisi
a. Inkontinensia urine merupakan eliminasi urin
dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan melalui
uretra sebagai akibat dari peningkatan mendadakpada tekanan intra abdomen.
b.
Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin
tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan
masalah gangguan kesehatan atau sosial Inkontinensia urine adalah pelepasan
urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang cukup banyak.Sehingga dapat
dianggap merupakan masalah bagi seseorang.
c. Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan
menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah
melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan
oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita
inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai
sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan
prolapsus total uterus dan vagina dengan
kontinensia urine yang baik.
2.
Klasifikasi
a.
Inkontinensia
urine di klasifikasikan menjadi 3 : ( Charlene J.Reeves at all )
1)
Inkontinensia Urgensi adalah
pelepasan urine yang tidak terkontrol sebentar setelah ada peringatan ingin
melakukan urinasi. Disebabkan oleh aktivitas otot destrusor yang berlebihan
atau kontraksi kandung kemih yang tidak terkontrol.
2)
Inkontinensia Tekanan adalah
pelepasan urine yang tidak terkontrol selama aktivitas yang meningkatkan
tekanan dalam lubang intra abdominal. Batuk, bersin,
tertawa dan mengangkat beban berat adalah aktivitas yang dapat menyebabkan
inkontinensia urine.
3)
Inkontinensia Aliran Yang Berlebihan ( Over
Flow Inkontinensia ) terjadi jika retensi menyebabkan kandung kemih
terlalu penuh dan sebagian terlepas secara tidak terkontrol, hal ini pada
umumnya disebabkan oleh neurogenik bladder atau obstruksi bagian luar kandung
kemih.
b.
Kategori
klinis meliputi :
1) Inkontinensia urin stress (stres
inkontinence).
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal,
seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya
otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia
di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada
laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan
transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa,
batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
2) Inkontinensia urin urgensi (urgency
inkontinence).
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih.
Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak
terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan
dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson,
demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk
sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul
peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab
tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang
terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat
mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti
inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk
mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain
sehingga penanganannya tidak tepat.
3)
Inkontinensia
urin luapan / overflow (overflow incontinence). Tidak terkendalinya pengeluaran
urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini
disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor
neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan
berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor
obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya
sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
4)
Inkontinensia
urin fungsional. Memerlukan
identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat
faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat,
masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan
untuk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis. Seringkali inkontinensia urin
pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari
satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan
identifikasi semua komponen.
3. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa
perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot
dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah,
atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni.
Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih,
sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa
ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan
gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat
atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena
infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi
antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka
dilakukan terapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien
baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus
dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang
adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa
terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan
metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain
adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan
cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.Gagal jantung kongestif juga bisa
menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi
medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit
kronik, trauma, atau gangguan mobilitas.
Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke
toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya
adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non
farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi
obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya
. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu
diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic
adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika
seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil
dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain
hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat
kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan
(obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan
berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar
panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat
membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan
penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine.
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di
usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan
otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urine Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul. Seiring dengan bertambahnya usia, ada
beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya
otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang
salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air
seni.
4. Epidemiologi
Diperkirakan
prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat
dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia
urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur
65-74 tahun.
Masalah inkontinensia urin ini angka
kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada
yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot
dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita
desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang
dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia
urine yang baik.
Perubahan-perubahan akibat proses
menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan
predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak
menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses
menuaan.
5. Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi,
antara lain fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih
bocor bila batuk atau bersin. Bisa juga disebabkan oleh kelainan di sekeliling
daerah saluran kencing. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi
kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran
kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan.
Inkontinensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi
suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila
jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan
dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens
dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik
dengan overflow Ada beberapa pembagian inkontinensia urin, tetapi pada umumnya
dikelompokkan menjadi 4:
1. Urinary stress incontinence
2. Urge incontinence
3. Total incontinence
4. Overflow
incontinence
·
Stress urinary incontinence terjadi apabila
urin secara tidak terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut.
Dalam hal ini, tekanan di dalam kandung kencing menjadi lebih besar daripada
tekanan pada urethra. Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan,
tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga
perut. Pengobatan dapat dilakukan secara tanpa operasi(misalnya dengan Kegel
exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun secara operasi (cara yang
lebih sering dipakai).
·
Urge incontinence timbul pada keadaan otot
detrusor yang tidak stabil, di mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Gejalanya antara lain perasaan ingin kencing yang
mendadak, kencing berulang kali, kencing malam hari, dan inkontinensia. Pengobatannya
dilakukan dengan pemberian obat-obatan dan beberapa latihan.
·
Total incontinence, di mana kencing mengalir ke
luar sepanjang waktu dan pada segala posisi tubuh, biasanya disebabkan oleh
adanya fistula (saluran abnormal yang menghubungkan suatu organ dalam tubuh ke
organ lain atau ke luar tubuh), misalnya fistula vesikovaginalis (terbentuk
saluran antara kandung kencing dengan vagina) dan/atau fistula urethrovaginalis
(saluran antara urethra dengan vagina). Bila ini dijumpai,dapat ditangani
dengan tindakan operasi.
·
Overflow incontinence adalah urin yang mengalir
keluar akibat isinya yang sudah terlalu banyak di dalam kandung kencing akibat
otot detrusor yang lemah. Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat
penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, atau saluran kencing
yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah kencing (merasa urin
masih tersisa di dalam kandung kencing), urin yang keluar sedikit dan
pancarannya lemah. Pengobatannya diarahkan pada sumber penyebabnya.
(PATHWAY)
Pathway terlampir
6.
Manifestasi klinik
·
Inkontinensia stres: keluarnya urin selama
batuk, mengedan, dan sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik
untuk inkontinensia stres.
·
Inkontinensia
urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya
urin dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
·
Gejala
infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancara lemah,
menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal),
fistula (menetes terus- menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual atau
usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya diabetes) dapat menunjukkan
penyakit yang mendasari.
Sementara itu, Dr Nina MS Syafiuddin SpOG
mengatakan, ada gejala-gejala tertentu yang mesti diwaspadai sebagai bentuk
inkontinensia urin. Gejala-gejala tersebut adalah;
·
Urin
keluar bila batuk, bersin, tertawa atau saat melompat.
·
Urin
sering keluar, sehingga menimbulkan rasa malu yang berimbas pada pengurangan
aktivitas.
·
Selalu
memakai pembalut agar urin tidak membasahi pakaian.
·
Sering
buang air kecil, tetapi urin yang keluar sangat sedikit
·
Kandung
kemih terasa penuh, walaupun setelah buang air kecil.
·
Sering
merasakan ingin sekali berkemih sehingga tergesa-gesa pergi ke kamar kecil.
Kadang-kadang urin keluar sebelum sampai ke kamar kecil.
·
Bila
pergi ke tempat baru, hal pertama yang dicari adalah lokasi kamar kecil.
·
Sering
terbangun di malam hari untuk buang air kecil.
·
Pada
saat tidur sering mengompol.
·
Urin
sering keluar setelah operasi kandungan.
·
Berkemih
lebih sering dari biasanya tanpa ada infeksi saluran kemih.
·
Nyeri
yang berhubungan dengan berkemih.
·
Sering
infeksi saluran kemih. Kelemahan pancaran berkemih yang progresif.
·
Pakaian
dalam selalu basah oleh urin, tetapi tidak merasakan urin keluar.
7.
Therapi
a.
Terapi
non farmakologi
Dilakukan
dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti
hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan
lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
a)
Melakukan
latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik
relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia
diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia
dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap
2-3 jam.
b)
Membiasakan
berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
c)
Promted
voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka
serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik
ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
d)
Melakukan
latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara
berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut
adalah dengan cara :
1)
Berdiri
di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul
digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan
berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
2)
Gerakan
seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul
menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.
b.
Terapi
farmakologi
1)
Obat-obat
yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti
Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
2)
Pada
inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine
untuk meningkatkan retensi urethra.
3)
Pada
sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi
diberikan secara singkat.
5.
PENATALAKSANAAN
a.
Inkontinen
Stres
-
Latihan
otot-otot dasar panggul
-
Latihan
penyesuaian berkemih
-
Obat-obatan
untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen
-
Tindakan
pembedahan memperkuat muara kandung kemih
b.
Inkontinensia
urgensi
-
Latihan
mengenal sensasi berkemih dan penyesuaianya
-
Obat-obatan
untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen
-
Tindakan
pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain keadaan patologik yang
menyebabkan iritasi pada saluran kemih bagian bawah.
c.
Inkontensia
overflow
-
Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten,
dan kalau tidak mungkin secara menetap.
-
Tindakan
pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan.
d.
Inkontinensia
tipe fungsional
-
Penyesuaian
sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan kebiasaan berkemih
-
Pakaikan dalam dan kain penyerap khusus lainnya
-
Penyesuaian/modifikasi
lingkungan tempat berkemih
-
Kalau
perlu digaunakan obat-obatan yang merelaksasi kandung kemih
a)
Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara
operasi. Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan
terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang
paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian
alat mekanis.
·
Latihan Otot Dasar Pinggul (‘Pelvic Floor
Exercises’)
Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan
dasar pelvis. Fisioterapi meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul
membantu penutupan urethra pada keadaan yang membutuhkan ketahanan urethra
misalnya pada waktu batuk. Juga dapat mengangkat sambungan urethrovesikal ke dalam daerah yang ditransmisi tekanan
abdomen dan berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan
intraabdominal, perubahan posisi dan pengisian kandug kemih. Pada inkompeten
sfingter uretra, terdapat hilangnya transmisi tekanan abdominal pada uretra
proksimal. Fisioterapi membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik
uretra dan periuretra. Pada kandung kemih neurogrik, latihan
kandung kemih (‘bladder training) telah menunjukan hasil yang efektif. Latihan kandung kemih adalah
upaya melatih kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional
kandung kemih tersebut kembali normal dari keadaannya yang abnormal.
·
Bladder Training
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7
x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu,
mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia
ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan
berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi
berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin
berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir).
b)
Penatalaksanaan Fakmakologis
·
Alfa Adrenergik Agonis
Otot leher vesika dan uretha proksimal megandung alfa
adrenoseptor yang menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan
penutupan urethra obat aktif agonis alfa-reseptor bisa menghasilkan tipe
stmulasi ini dengan efek samping relatif ringan.
·
Efedrin
Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan
juga melepaskan noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan
efektif pada inkotinensia stres. Efek
samping menigkatkan tekanan darah, kecemasan dan insomnia oleh karena stimulasi
SSP
·
Phenylpropanololamine
PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding
dengan efedrin, akan tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA adalah komponen
utama obat influensa dalam kombinasi dengan antihistamin dan anthikholinergik.
Dosis 50 mg dua kali sehari. Efek samping minimal. Didapatkan 59 % penderita inkontinensia
stres mengalami perbaikan.
·
Estrogen
Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian
menunjukkan efek meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra
dengan estrogen dosis tinggi oral dan intravaginal. Estrogen biasanya diberikan
setelah tindakan bedah pada inkontinensia dengan tujuan untuk memperbaiki
vaskularisasi dan penyembuhan jaringan urogential, walaupun belum ada data yang
akurat.
c)
Stimulasi Elektrik
Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun
sudah rutin digunakan selama 2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah
menghasilkan kontraksi otot lurik uretra dan parauretra dengan memakai
implant/non-implant (anal atau vaginal) elektrode untuk meningkatkan tekanan
uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah selama beberapa jam per hari
selama beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara implant,
tapi metode ini tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan morbiditas
karena infeksi. Sedang stimulasi non-implant terdiri dari generator mini yang
digerakkan dengan baterai dan dapat dibawa dalam pakaian penderita dan
dihubungkan dengan elektrode anal/vaginal. Bentuk elektrode vaginal : ring,
Hodge pessary, silindris.
d)
Alat Mekanis (‘Mechanical Devices’)
-
Tampon : Tampon dapat membantu pada
inkontinensia stres terutama bila kebocoran hanya terjadi intermitten misal
pada waktu latihan. Penggunaan terus menerus dapat menyebabkan vagina
kering/luka.
-
Edward Spring : Dipasang intravagina.
Terdapat 70 % perbaikan pada penderita dengan
inkontinensia stres dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian terjadi ulserasi
vagina.
-
Bonnas’s Device: Terbuat dari bahan
lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup dapat mengangkat sambungan urethrovesikal
dan urethra proksimal.
e)
Penatalaksanaan Pembedahan
Tindakan
operatif sangat membutuhkan informed consent yang cermat dan baik pada
penderita dan keluarganya karena angka kegagalan maupun rekurensi tindakan ini
tetap ada. Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk
menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu,
divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif
dapat dilakukan dengan beberapa cara meliputi :
·
Kolporafi anterior
·
Uretropeksi retropubik
·
Prosedur jarum
·
Prosedur sling pubovaginal
·
Periuretral bulking agent
·
Tension vaginal tape (TVT)
6.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a.
Kultur
urin: untuk menyingkirkan infeksi.
b.
IVU:
untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi atau fistula.
c.
Urodinamik:
·
Uroflowmetri:
mengukur kecepatan aliran.
·
Sistrometri:
menggambarkan kontraksi detrusor.
·
Sistometri video: menunjukkan kebocoran urin
saat mengedan pada pasien dengan
inkontinensia stres.
·
Flowmetri tekanan udara: mengukur tekanan
uretra dan kandung kemih saat
istirahatdan selama berkemih.
8.
Pemeriksaan
penunjang
Uji urodinamik sederhana dapat
dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih
perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat
dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat
dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus
dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih.
Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri.
Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh
antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi
kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
B.
Konsep
asuhan keperawatan pada paien lansia dengan gangguan inkontinensia urin
- Pengkajian
a)
Identitas Klien
Inkontinensia
pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia ke atas
65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan
lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
b)
Riwayat Kesehatan
·
Riwayat Kesehatan Sekarang
Meliputi gangguan yang
berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi
inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres,
ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan
dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada
penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah
terjadi ketidakmampuan.
·
Riwayat Kesehatan Klien
Tanyakan pada klien apakah
klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan
eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius,
pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
·
Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah ada anggota
keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada
riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
·
Pemeriksaan Fisik
v
Keadaan Umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital
terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia.
a. Inspeksi:
Adanya kemerahan, iritasi / lecet dan bengkak pada daerah perineal. Adanya
benjolan atau tumor spinal cord Adanya obesitas atau kurang
gerak.
b. Palpasi:
Adanya distensi kandung kemih atau nyeri tekan Teraba benjolan tumor
daerah spinal cord
c.
Perkusi: Terdengar suara redup pada
daerah kandung kemih
v
Pemeriksaan Sistem :
a) B1
(breathing)
Kaji pernapasan adanya
gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi
dada, adakah kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Peningkatan
tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c) B3
(brain)
Kesadaran
biasanya sadar penuh
d) B4
(bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah
supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter
sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat
pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu
kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
e) B5
(bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada
ginjal.
f) B6
(bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.
- DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Diagnosa yang mungkin muncul pada
klien inkontinensia adalah sebagai berikut :
a. Inkonteninsia
berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur dasar penyokongnya.
b. Resiko
infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama.
c. Kerusakan
Integritas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine
d. Gangguan
Citra tubuh berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan
orang lain atau takut bau urine
e. Defisiensi
pengetahuan yang berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tenttang
penyebab inkontinensia, penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih,
tanda dan gejala komplikasi, serta sumber
komonitas.
3. Perencanaan Keperawatan
Hari/Tgl
|
No Dx
|
Rencana Perawatan
|
TTD
|
||
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
|||
1
|
Setelah diberikan
asuhan keperawatan selama …x24 jam diharapkan inkontinensia
teratasi dengan kriteria hasil
1. Klien
akan bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkonteninsia
2. Klien
dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional penatalaksanaan.
|
1. Kaji
kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari,
2. Pertahankan
catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang direncanakan.
3. Intruksikan
klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi dengan
posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan
dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih dulu.
4.
Pantau masukan dan pengeluaran,
pastikan klien mendapat masukan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi
5. Kolaborasi
dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan kemungkinan perubahan
obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekuensi inkonteninsia.
|
1.
Untuk dapat mengkaji intervensi
yang diberikan selanjutnya
2. untuk dapat mengetahui
perkembangan dari terapi-terapi yang sudah diberikan
3. posisi litotomi dapat membantu mencegah kebocoran
4. untuk mencegah terjadinya dehidrasi
5.
Kolaborasi dapat mempercepat penyembuhan pasien.
|
|
|
|
2
|
Setelah diberikan tindakan
asuhan keperawatan
selama
….x24 jam
diharapkan risiko infeksi dapat dihindari
dengan
kriteria hasil:
1.
Klien bebas dari tanda dan gejala
infeksi
2.
Mendeskripsikan proses penularan
penyakit, faktor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaanya
3.
Menunjukkan kemampuan untuk
mencegah timbulnya infeksi
4.
Jumlah leukosit dalam batas
normal
Menunjukkan
perilaku hidup
|
1. Berikan
perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien inkontinensia,
cuci daerah perineal sesegera mungkin.
2. Jika
di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari (merupakan
bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah buang air
besar.
3. Ikuti
kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung, pemakaian
sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi
(memberikan perawatan perianal, pengososngan kantung drainse urine,
penampungan spesimen urine).
4. Pertahankan
teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari
kateter indwelling. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap
2jam dan anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan
ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
5. Lakukan
tindakan untuk memelihara asam urine. Tingkatkan masukan sari buah beri.
Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
|
1. Untuk
mencegah kontaminasi uretra
2. Kateter
memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke
saluran perkemihan
3. Untuk
mencegah terjadinya kontaminasi silang
4. Untuk
mencegah stasis urine
5. Asam
urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri diperlukan
untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari
buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih.
|
|
|
3
|
Setelah dilakukan
Tindakan keperawatan
Selama …x 24 jam diharapkan gangguan
Body image
Pasien teratasi dengan
Kriteria hasil:
1. Body image positif
2. Mampu
3. Mengidentifikasi
4. Kekuatan personal
5. Mendiskripsikan
6. Secara faktual
7. Perubahan fungsi
8. Tubuh
9. Mempertahankan
10.
Interaksi
sosial
|
1. Yakinkan
apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi urinaria, diskusikan pada
saat pertama.
2. Dorong
pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui kenormalan perasaan
marah, depresi, dan kedudukan karena kehilangan. Diskusikan “peningkatan dan
penurunan” tiap hari yang dapat terjadi setelah pulang.
3. Perhatikan
perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan, manipulasi atau tidak
terlibat pada asuhan.
4. Berikan
kesempatan untuk pasien / orang terdekat untuk memandang dan menyentuh stoma,
gunakan kesempatan untuk memberikan tanda positif penyembuhan, penampilan,
normal, dsb.
5. Berikan
kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui partisipasi dalam
perawatan diri.
6. Pertahankan
pendekatan positif, selama aktivitas perawatan, menghindari ekspresi menghina
atau reaksi mendadak. Jangan menerima ekspresi kemarahan pasien secara
pribadi.
7. Rencanakan
/ jadwalkan aktivitas asuhan dengan orang lain.
8. Diskusikan
fungsi seksual dan implan penis, bila ada dan alternatif cara pemuasan
seksual.
|
1. Memberikan
informasi tentang tingkat pengetahuan pasien / orang terdekat tentang situasi
individu dan Pasien menerimanya(contoh; inkontinensia tak sembuh, infeksi)
2. Memberikan
kesempatan menerima isu / salah konsep. Membantu pasien / orang terdekat
menyadari bahwa perasaan yang dialami tidak biasa dan bahwa perasaan bersalah
pada mereka tidak perlu / membantu. Pasien perlu mengenali perasaan sebelum
mereka dapat menerimanya secara efektif.
3. Dugaan
masalah pada penyesuaian yang memerlukan evaluasi lanjut dan terapi lebih
efektif. Dapat menunjukkan respon kedukaan terhadap kehilangan bagian / fungsi
tubuh dan kawatir terhadap penerimaan orang lain, juga rasa takut akan
ketidakmampuan yang akan datang / kehilangan selanjutnya pada hidup karena
kanker.
4. Meskipun
integrasi stoma ke dalam citra tubuh memerlukan waktu berbulan-bulan /
tahunan, melihat stoma dan mendengar komentar (dibuat dengan cara normal,
nyata) dapat membantu pasien dalam penerimaan ini. Menyentuh stoma meyakinkan
klien / orang terdekat bahwa stoma tidak rapuh dan sedikit gerakan stoma
secara nyata menunjukkan peristaltic normal.
5. Kemandirian
dalam perawatan memperbaiki harga diri.
6. Membantu
pasien / orang terdekat menerima perubahan tubuh dan menerima akan diri
sendiri. Marah paling sering ditunjukkan pada situasi dan kurang kontrol
terhadap apa yang terjadi (tidak terduga), bukan pada pemberi asuhan.
7. Meningkatkan
rasa kontrol dan memberikan pesan bahwa pasien dapat mengatasinya,
meningkatkan harga diri.
8. Pasien
mengalami ansietas diantisipasi, takut gagal dalam hubungan seksual setelah
pembedahan, biasanya karena pengabaian, kurang pengetahuan. Pembedahan yang
mengangkat kandung kemih dan prostat (diangkat dengan kandung kemih) dapat
mengganggu syaraf parasimpatis yang mengontrol ereksi pria, meskipun teknik
terbaru ada yang digunakan pada kasus individu untuk mempertahankan syaraf ini.
|
|
|
4
|
Setelah diberikan tindakan
asuhan keperawatan
selama
….x24 jam
diharapkan kerusakan integritas kulit dapat teratasi
dengan
kriteria hasil:
1. Perfusi
jaringan baik
2. Integritas
kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi,
pigmentasi)
3. Mampu
melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit dan perawatan alami
4. Menunjukkan
pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera
berulang
5. Kulit
periostomal tetap utuh.
|
Mandiri
1. Pantau
penampilan kulit periostomal setiap 8 jam.
2. Ganti
wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit
bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer
kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin
ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal.
Kosongkan kantung urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.
3. Ajarkan
pasien untuk meningkatan
nutrisi dan masukan cairan adekuat.
|
1. Untuk
mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.
2. Peningkatan
berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan kebocoran urine.
Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine dapat
menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.
Mempertahankan insisi bersih, meningkatkan
sirkulasi atau penyembuhan. Catatan:”memanjat” keluar dari bak
mandi memerlukan penggunaan lengan dengan otot pektoral, yang dapat
menimbulkan stres yang tak perlu pada sternotomi.
3. Membantu
untuk mempertahankan volume sirkulasi yang baik untuk perfusi jaringan dan
memenuhi kebutuhan energi seluler untuk memudahkan proses regenerasi atau
penyembuhan jaringan.
|
|
|
5
|
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x 24 jam diharapkan
pasien mengerti tentang penyakit yang diderita dengan dengan kriteria hasil :
1. Pasien
dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan
program pengobatan.
2. Pasien
dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
3. Pasien
dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya
|
1.
Kaji ulang rencana diet/
pembatasan. Termasuk lembar daftar makanan yang dibatasi
2.
Kaji tingkat pengetahuan pasien
dan keluarga
3.
Sediakan bagi keluarga informasi
tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
4.
Berikan gambaran dan penjelasan
proses penyakit dengan tepat
5.
Dorong pasien untuk mengobservasi
karakteristik urine dan jumlah/ frekuensi pengeluaran
6.
Diskusikan/ kaji ulang pengguanaan
obat. Dorong pasien untuk mendiskusikan semua obat( termasuk obat dijual
bebas) dengan dokter
7.
Tekankan perlunya perawatan
evaluasi, pemeriksaan laboratorium
8.
Kolaborasi dengan dokter dalam
penjelasan pengobatan yang akan dilakukan kepada pasien
|
1.
Nutrisi adekuat perlu untuk
meningkatkan penyembuhan / regenerasi jaringan dan kepatuhan pada pembatasan
dapat mencegah komplikasi
2. Mengetahui
sejauh mana pengetahuan yang dimiki pasien dan keluarga dan kebenaran
informasi yang didapat.
3. Penyediaan
informasi yang baik memudahkan keluarga untuk mendapat informasi tentang
kondisi pasien
4. Penjelasan
yang tepat tentang kondisi yang sedang dialami dapat membantu
menambah wawasan pasien dan keluarga
5.
Perubahan dapat menunjukan
gangguan fungsi ginjal/ kebutuhan dialysis
6.
Obat yang terkonsentrasi/
dikeluarkan oleh ginjal dapat menyebabkan reaksi toksik kumulatif dan/ atau
kerusakan permanen pada ginjal
7.
Fungsi ginjal dapat lambat sampai
gagal akut( sampai 12 bulan) dan defisit dapat menetap, memerlukan perubahan
dalam terapi untuk menghindari kekambuhan/ komplikasi
8.
Menambah pemahaman keluarga tentang medikasi
yang diberikan
|
|
4.
IMPLEMENTASI
Untuk Implementasi dilakukan sesuaikan dengan Intervensi yang sudah ada.
5.
EVALUASI
- DX
1: pasien mampu menjelaskan tentang inkontinensia dan mampu melaporkan
jika terjadi pengurangan inkontinensia urine
- DX
2: pasien mampu Berkemih dengan urine jernih, ketidak nyamanan berkurang
,urinalisis dalam batas normal, dan urine menunjukkan tidak adanya bakteri
- DX
3: Kerusakan Integitas kulit dapat teratasi
- DX
4: gangguan citra tubuh dapat teratasi, pasien dan keluarga mampu menerima
keadaannya sekarang dan tidak terjadi komplik antara dirinya dengan lingkungan dan tidak
terjadi depresi
- DX
5: pasien mampu Mengungkapkan pemahaman tentang kondisinya saat ini,
Keluhan pasien berkurang tentang cemas atau gugup dan Ekspresi wajah
rileks.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Inkontinensia
urine adalah ketidak mampuan
menahan air kencing. Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi
penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi
inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30%
pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan
kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74
tahun. Inkontinensia
urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran
kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen
secara tiba-tiba. inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai
usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.
B.
Saran
Kami selaku mahasiswa berharap dengan pembuatan paper
dalam bentuk makalah ini,dapat memberikan manfaat dalam proses belaja mengajar
.Dan tetap mengharapkan bimbingan lebih dalam lagi dari para Dosen pembimbing
mengenai penyakit “Inkontenensia Urin”.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Amin
Huda Nuratif, Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta
2.
Carpenito,
L.J. 2003. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3.
Doengoes,
Marilynn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4.
Muttaqin,
Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan
Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Salemba Medika: Jakarta
5.
Suzanne
C.Smeltzer & Brenda G.Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Sudarth volume
2.. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
6.
http;/medicastore.com/penyakit/602/inkontinensia_Uri.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar